Selasa, 03 Desember 2019

aku untuk mencintai hujan


Tuhan menciptakan aku untuk mencintai hujan...”Aku masih berada dalam kebebasan dalam diriku. Benar—aku tidak terikat oleh apapun. Bebas melakukan apa yang aku inginkan. Dan yang  penting semua tindakan aku cap menjadi sebuah kebenaran. Aku tidak terlibat konformitas dengan lingkungan apapun. Semua berjalan begitu menyenangkan. Harusnya Tuhan sudah menurunkan hujan hari ini, tapi masih saja mendung sejak pagi. Dan sore ini aku putuskan untuk bersepeda, mengeluarkan sebagian racun dari tubuhku.

Berkeliling kota melihat setiap pojok keramaian dan menemukan tempat romantis untuk mengumpat. Kemudian memberi uang lebih untuk pedagang asongan dan dia memberikan senyuman lebih juga. Hari sudah gelap, aku berhenti dan kusulut rokok—bebas kukeluar - masukan racun dalam tubuh. Menertawakan jalan yang dipenuhi budak kehidupan. Manusia yang selalu merasa kurang dalam hidupnya sampai mereka lupa bahwa kehidupan adalah milik mereka—bukan milik anak dan istri bahkan bukan milik jalanan yang selalu menghitam dengan garis putih ditengah. Selesai sebatang rokok aku bersiap untuk pulang karena malam sudah larut. Namun hujan turun saat kayuhan baru satu putaran roda.

Dan kulihat di depan ada penjual jas hujan. Kuluncurkan segera kesana. Saat kulihat harganya dan menghitung uang ku-urungkan niatku. Dan hanya bisa berteduh di emperan penjual jas hujan.“Mau beli mas?”“Tidak pak, uangku tidak cukup”“Namanya juga musim hujan mas. Harusnya sudah sedia jas hujan sebelum berangkat. Dari tadi pagi juga sudah mendung”Bangsat, kenapa bapak itu yang mengaturku. Dengan sedikit mengumpat aku terjang hujan itu. Aku tidak mau dekat orang yang sering mengatur kehidupan. Karena setiap manusia dilahirkan dalam kebebasan. Seperti hujan—mereka bebas menjatuhkan tubuhnya pada siapun, tanpa diatur. Seharusnya dia lebih mengerti dari pada aku.

Sesampainya di kontrakan aku mandi dan menganti bajuku. Lapar mendera dan kuputuskan untuk keluar mencari makan mumpung hujan hanya tinggal rintikan. Sampai di warung makan aku bertemu dengan kakak tingkat kampus. Namanya Maulida, tidak cantik namun manis. Aku menyapanya dan kami makan satu meja sambil berbincang masalah perkuliahan. Cukup dingin aku menanggapi, sampai kopiku juga mendingin. Dan saat aku bergegas untuk pulang dia menahan.“Kenapa kamu tadi tidak pakai jas hujan?”“Kamu lihat? Dimana?” aku cukup tertarik dengan obrolan yang dia mulai.“Tadi di depan kampus, kenapa?”“Tidak ada alasan—hanya ingin merasakan hujan”“Gitu amat jawabnya. Coba kalau kamu tanya orang dan ditanggapi seperti tadi pasti gak enak kan.Jutek amat jadi orang”

Ada masalah. Coba jawab pertanyaanku. Kenapa kamu harus hidup?”“Karena Tuhan menciptakan aku untuk mencintai hujan”Aku terdiam cukup lama. Baru kali ini aku bicara dengan orang yang mengerti tujuan hidupnya sendiri. Dan bisa menjawab dengan begitu tegas. Ada sedikit rasa yang aneh dalam hatiku. Lalu lamunanku terbuyar saat dia meniup mataku.“Aku suka matamu”“Banyak yang bilang begitu”“Aku suka kamu, pacaran yuk?”Cukup terkejut aku dibuatnya. Seberani itu seorang wanita yang belum cukup jauh mengenalku. “Kenapa aku harus mau?”“Gak harus mau kok, aku cuma mau taruhan. Kalau besok pagi pas kamu bangun dan hujan turun kamu sah menjadi pacarku”“Jangan bercanda” 

Lalu aku berdiri dari meja, membayar semua makanan dan pergi pulang. Tak mau memikirkan apa 
yang dia ungkapkan tadi. Toh langit malam ini cerah tidak mungkin hujan akan turun. Namun dalam hati, aku ingin Tuhan menurunkan hujan malam ini dan cerah esok pagi.Aku terbangun lalu menuju dapur. Sepertinya nikmat minum kopi pagi ini. Ditemani hujan yang mesra. Tidak seperti biasa, kopiku terasa bahagia. Selagi aku minum kopi terdengar ponselku berbunyi. Ada nomor baru yang menelfon. Aku angkat dan sepertinya aku kenal suara diseberang.“Halo, pacar baruku. Pagi ini hujan kan? Berarti sah kamu jadi pacarku....”Suara diseberang menerocos begitu saja—kuletakan ponsel diatas meja lalu kusulut rokok. Dan suara Maulida tidak ada berhentinya.

Mengomentari semua kehidupanku. “Aku tidak sepakat dengan omonganmu semalam”“Itu tidak penting, Tuhan menyertai dengan datangnya hujan. Sejam lagi aku ke kontrakanmu”Mungkin dia seorang polisi atau agen rahasia sampai dia bisa tahu nomor dan kontrakanku. Luar biasa sekali wanita itu. Tapi aku tak suka gaya bicaranya. Terlalu cerewet.Dan sejam kemudian dia datang dengan ditemani derasnya hujan. Mungkin hujan melahirkan seorang anak—yaitu Maulida. Dan menurunkan sifat berisik padanya. Aku buka pintu gerbang lalu dia masuk begitu saja. Membawa sekotak nasi goreng masakannya. “Ini makan dulu, kamu pasti belum sarapan”
“Iya”“Enak kan, aku yang masak”

Aku tanggapi omongan cerewetnya sedingin hujan. Sebenarnya aku malas untuk berbicara dipagi hari—bukan kebiasaanku. Lalu dia bergegas ingin pulang. Ada kuliah katanya. Namun aku tahan. 
“Kenapa kamu pakai jas hujan?”“Biar gak basah”“Katamu kamu cinta hujan. Aku juga bisa membuatmu basah, sakit bahkan menangis. Dan ingat aku bukan pacarmu. Dan aku juga bukan hujan.”“Kamu jahat”“Memang, banyak yang bilang seperti itu”Lalu dia berlalu dengan tangis yang terselamatkan derasnya hujan. Sedikit aku kasihan tapi aku biarkan. Aku hanya ingin jujur dengan perasaan—tidak ada yang mengatur. Seperti hujan. 

seorang gadis kecil


Zahwa, seorang gadis kecil yang hidup diantara hiruk-pikuk ibu kota. Tangannya yang seharusnya lembut kini kasar karena mengais sampah untuk sesuap nasi. Wajahnya yang terlahir putih kini kelabu disiram pahitnya asap ibukota. Tidak ada yang peduli padanya, mobil mewah hanya akan berlalu saat melihat Zahwa dengan pakaian lusuh. Sebagian mereka melirik iba, namun hanya mampu diam dan tidak berbuat apa-apa. Zahwa bukanlah satu-satunya anak jalanan di ibukota. Tapi ia cukup mewakili betapa kerasnya kehidupan di Ibukota Jakarta. Kota yang ditinggali oleh banyak orang bertahta, kota yang dikunjungi oleh banyak bangsawan dunia.

Senja itu, Zahwa terduduk diantara tumpukan sampah, wajahnya pucat dan keringat dinginnya mengalir deras membasahi bajunya yang longgar. “Ibuu, ibuu, tolong aku,” Zahwa berteriak lirih dan “bam” badannya jatuh diantara tumpukan sampah. Hingga malam beranjak tidak ada yang membantunya, bukan karena pemulung lain tidak peduli. Melainkan karena tubuh kecilnya tersembunyi diantara tumpukan sampah dan membuat mata tidak peka dengan tubuhnya yang berkamuflase dengan sampah.Diperkampungan kumuh yang penuh tumpukan karton dan karung goni, Naffa menunggu kedatangan kakaknya. Perutnya sudah sangat lapar.

Dari siang tadi ia hanya menangkal lapar  dengan air yang didapatkannya dari tempat berwudu di mesjid. Malam sudah sangat larut, tapi kakaknya belum juga pulang. Bukan lagi rasa lapar yang mengusik Naffa melainkan rasa khawatir pada Zahwa, kakaknya. Tak dihiraukannya perintah mendiang ibunya. Kaki kecil itu melangkah menjauhi rumah kardus yang telah lama ditinggalinya bersama Zahwa. “Kakak, kak Zahwa. Kau dimana?” Naffa mencari Zahwa disetiap tumpukan sampah. Ia tahu disanalah biasanya Zahwa bekerja untuk mencari sampah yang masih bisa dijual. “Kakakkk,” diantara remangnya malam Naffa berteriak karena melihat tubuh kakaknya yang tertidur ditumpukkan sampah. Ia berlari dan menggoyang-goyangkan tubuh Zahwa yang sebenarnya pucat jika saja ada cahaya yang cukup.

Zahwa tidak makan selama dua hari karena itulah kondisinya hari ini sangat lemah. Uang yang didapatkan kemaren hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan Naffa.“Kakak, bangunlah. Apa kau juga akan mati seperti Ibu. Bangunlah, aku mohon!” Naffa berteriak kencang dan berharap kakaknya bisa mendengarkan teriakannya. Naffa berhenti menangis saat kakaknya membuka matanya.“Naffa, apa yang kau lakukan disini. Aku sudah bilang agar jangan keluar malam-malam,” Zahwa berucap lirih, bahkan di awal sadarnya Zahwa masih bisa mengkhawatirkan Naffa bukannya khawatir dengan kesehatannya sendiri.

Kakak, ayo kita pulang,” Naffa tersedu-sedu mengajak kakak yang sangat disayanginya itu untuk pulang. Naffa berusaha membantu Zahwa bangun dan memapahnya berjalan keluar dari tumpukan sampah. Di perjalanan pulang Zahwa singgah sebentar ke tempat pengepul. Tidak ada pengepul yang buka pukul 11 malam begini, tapi Zahwa tetap mencoba ketempat biasa ia menjual rongsokan tersebut. Ia berharap Tuan Pengepul mau memberikanya sedikit upah. Jika tidak, maka ia dan Naffa tidak akan makan lagi malam ini. Zahwa sangat beruntung karena Tuan Pengepul sangat berbaik hati memberinya upah untuk sampahnya. Bahkan ia tidak menimbangnya terlebih dahulu dan memberikan bayaran lebih untuk Zahwa dan Naffa.

Dirumah kardus itu, Zahwa dan Naffa makan dengan nasi dan tempe. Memang uang yang diberikan oleh Tuan Pengepul cukup untuk membeli ikan, tapi mereka berdua sepakat untuk menyimpan uang itu. Tidak ada yang menyadari bahwa di pundak gadis belia itu terpikul beban yang sangat berat. Naffa, adiknya sebenarnya hanyalah adik yang sama ibu. Sedangkan ayah mereka berbeda, Ayah Zahwa sendiri telah lama meninggal karena penyakit pernafasan saat usia Zahwa 7 tahun. Setahun setelah kepergian ayahnya, ibu Zahwa kembali menikah dengan ayah Naffa.  Zahwa sangat tidak menyukai lelaki itu, terlebih setelah ibunya meninggal karena dia. Laki-laki itu  sendiri telah lama meninggal karena HIV. Dan lima tahun setelah melahirkan Naffa, ibunya pun meninggal karena hal yang sama.

Saat ini Zahwa hanya memiliki Naffa, entah kapan Tuhan juga akan mengambil nyawa adiknya. Namun  Zahwa tidak menyerah, baginya selama adiknya masih ada ia akan berusaha untuk mengobati adiknya. Walapun hingga saat ini ia belum pernah sekalipun membawa Naffa berobat. Karena itulah Zahwa melarang adiknya bekerja, ia takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika Naffa bekerja. Zahwa tahu seberapa parahnya penyakit ini. Ibunya sempat mengajarkan Zahwa membaca, dan dari koran-koran bekas ia dapat mengerti bagaimana dan apa HIV itu. “Kakak, kenapa kita tidak bekerja bersama agar tabungan kita lebih banyak,” Naffa berkata lirih disebelah kakaknya yang berusaha menutup matanya untuk tidur. Zahwa tidak menanggapi pertanyaan Naffa dan tetap menutup matanya. Hapir tiap malam anak ini minta untuk bekerja dan akan menimbulkan perdebatan jika Zahwa menjawabnya.

 Apa yang kau lakukan disini Naffa?” Zahwa meninggikan suaranya saat melihat adiknya ikut mengais sampah. Darahnya seketika langsung naik begitu melihat wajah Naffa.“Aku hanya ingin bekerja, aku bosan dirumah kakak,” Naffa menanggapi sepele, ia tidak melihat betapa marah dan kecewanya Zahwa melihat adiknya yang tidak mengikuti perintahnya. Seharian Zahwa mendiami adiknya, tidak sekalipun adiknya diajak bicara. Bahkan Naffa sudah mencoba membujuknya tapi hasilnya nihil.  Naffa tidak tahu betapa besar ketakutan Zahwa jika harus kehilangan Naffa, meskipun ia tahu cepat atau lambat Naffa akan pergi. “ Naffa, kau harus makan yang banyak agar kau sanggup untuk bekerja,” pagi ini Zahwa berubah 180 derajat dari tadi malam. Ia mendukung adiknya bekerja dan memberikan senyum terbaik yang dimilikinya.

Tadi malam saat Naffa tertidur, Zahwa berjalan-jalan keluar. Ia masih kesal dengan Naffa tapi disisi lain ia juga kasihan dengan Naffa. Zahwa tahu bahwa penderita HIV tidak akan bertahan lama dan tahun ini Naffa akan berusia 7 tahun. Karena itulah Zahwa akan memutuskan untuk membiarkan Naffa mewujudkan apa yang diinginkannya. Bahkan ia berencana akan mengajak Naffa melihat sirkus dengan uang tabungannya. Dari dulu Naffa selalu berkata kalau ia ingin sekali melihat sirkus bukan hanya melihat brosurnya. Zahwa merelakan uang biaya pengobatan itu habis demi kebahagiaan Naffa.

Uang itu bahkan masih jauh dari cukup untuk mengobati penyakit Naffa. Zahwa tidak mungkin membiarkan Naffa pergi tanpa membawa kebahagiaan, karena itulah ia akhirnya memutuskan hal tersebut.“Naffa, hari ini kakak akan memberikanmu kejutan,” Zahwa berkata riang dan mengambilkan segelas air untuk Naffa.“Kejutan, hari ini bukan ulang tahunku kak,” Naffa berkata ragu antara senang dan penasaran.“Kita lihat saja nanti, sekarang kita harus bekerja dulu,” Zahwa melihat kegirangan yang ada diwajah adiknya. “Kakak, tempat ini sangat indah dan ramai,” Naffa terkagum kagum melihat antusias orang orang yang akan menonton sirkus yang murah ini.

Malam itu Zahwa sepenuhnya membuat Naffa senang bahkan mereka juga membeli harum manis. Namun apa yang terjadi lima hari kedepan bukanlah bagian dari kebahagiaan Zahwa. Dua hari sebelumnya Naffa membuat hati Zahwa senang dengan mengatakan bahwa ia tidak ingin bekerja lagi. Naffa bilang dia sudah bosan. Namun hal itu hanya untuk membohongi Zahwa, Naffa tidak bekeja karena ia merasakan kondisinya sangat lemah. Beberapa kali ia sempat pingsan tapi kembali bangun sebelum kakaknya pulang. Bahkan beberapa tahun belakangan ia juga sering mimisan, tapi ia menyembunyikan itu semua dari Zahwa. Ia tidak ingin membuat kakaknya khawatir.

Sayangnya malam ini, Naffa tidak bisa menyembunyikan itu semua dari Zahwa. Badannya terkulai pucat di lantai dengan bekas darah di hidungnya. Zahwa seketika itu pun berteriak kencang membuat tetangga yang disekitarnya terkejut dan melihat kondisi gadis belia itu. Selama ini tidak banyak yang dapat dibantu oleh tetangga mereka yang kondisinya pun sama dengan Zahwa dan Naffa. Namun pagi ini mereka memberikan bantuan terakhir bagi Naffa. Naffa telah pergi menyusul orang-orang yang pernah hadir dikehidupan Zahwa. Zahwa menangis di gundukan tanah didekat tanah yang dipenuhi sampah.

Zahwa bersyukur Tuhan masih menyayanginya, Tuhan tidak pernah membiarkan Zahwa sendiri. Siang itu sebelum Zahwa dan Naffa pergi ke sirkus , Zahwa sudah lebih dulu kesana untuk membeli tiket. Disana ia melihat berbagai kegiatan, bahakan ia sempat menyelinap masuk untuk melihat latihan sirkus dan saat itu, seorang wanita dibelakangnya berkata ”apakah kau tertarik untuk jadi pemain sirkus”. Entahlah, selama ini Zahwa tidak pernah memimpikan apapun. Tapi entah mengapa Zahwa menganggukan kepala. Dan sekarang Zahwa tahu kenapa saat itu is setuju, jawabannya ada di kuburan Naffa.

suka sama dia


Dihari ini awan kelabu menghiasi langit pagi. SMA TARUNA BANGSA masih kosong, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan dari murid-murid lain. Aku duduk sendirian  didalam kelas XI IPS 1 ini. Jujur, berada dikelas sendirian dengan cuaca seperti ini tidak menyenangkan.Andai saja disini ada Rafa, teman sebangku-ku. Hmmm, mungkin tidak hanya teman sebangku. Aku menyukainya dari kelas X. Aku juga tidak tau kenapa bisa suka sama dia. Well, cinta ga butuh alasan kan? Asal tau saja, aku sangat senang saat dia sekelas dan duduk di sebelahku. Padahal tempat duduk kami tidak diatur. Dia bilang karena dia suka melihat ke arah jendela. Terserah apapun alasannya. Asalkan dia duduk disebelahku itu sudah cukup.Ya Tuhan, apa separah ini aku suka sama Rafa?

Dia selalu terbayang-bayang. Bahkan sekarang aku melihat Rafa memasuki kelas dengan kemeja setengah keluar dan jaket abu-abu favoritnya. Dia mendekatiku. Andai ini nyata....“Selamat pagi. Fasha, tumben cepet dateng?” Aku tersadar. Ini nyata. Rafa disini dan dia memanggilku. Aku terdiam. Aku terlalu senang. Mungkin wajahku sekarang tampak seperti orang bodoh. Akhirnya aku menjawabnya dengan senyuman. Rafa tersenyum. How he make that face so cute like now? Aku mungkin mengerti kenapa aku sangat menyukainya. Aku menatap Rafa. Rafa menatapku sesaat. Lalu dia kembali menatap jendela. Rafa memang selalu menatap jendela.Sekarang dilangit sudah tidak ada lagi awan kelabu lagi. Walaupun belum cerah tapi sudah ada burung yang hilir mudik kesana kemari.

Seperti mencerminkan betapa bahagianya aku disini. Sialnya kelas sekarang sudah mulai penuh dan Bu Tuti sudah siap mengajar. Bu Tuti termasuk guru yang paling menyeramkan disekolah ini. Ntah ini hanya perasaanku atau bagaimana, aku merasa burung-burung yang hilir mudik tadi sekarang berhenti berterbangan setelah Bu Tuti mulai mengajar.Selama Bu Tuti mengajar, Rafa tetap menoleh ke arah jendela. Sampai akhirnya Bu Tuti berjalan menghampirinya. Aku menyikutnya, Rafa menoleh, menaikan dagu, lalu menatap jendela lagi. Respon macam apa itu? Akhirnya Bu Tuti menghabiskan sisa jam pelajarannya untuk memarahiRafa. Apa yang dipikirkan Rafa?Aku melihat ke arah jendela yang selalu dilihat Rafa. Dari sini aku melihat kelas XI IPA 1 yang berseberangan dengan kelas kami.

Ah, jangan-jangan Rafa menyukai seseorang disana? Astaga, ya benar itu mungkin benar, untuk apa dia selalu melihat ke jendela? Sekarang aku ingin menangis.Aku coba memberanikan diri menanyakan Rafa, kenapa dia selalu melihat jendela? Tapi dia hanya menjawab “Rahasia Sha, ntar deh aku pasti kasih tau.” Katanya sambil tersenyum lalu kembali menatap ke jendela.Apa maksud senyum itu? Kamu suka orang lain sedangkan aku disini selalu melihatmu. Mungkin sekarang aku sudah meneteskan air mata percuma, air mata yang tak akan mengubah perasaanku terhadapnya. Tangisan yang tidak akan membuat Rafa memperdulikanku. Yang diperdulikannya hanyalah jendela. Oh ya, bukan jendela, tapi orang dibalik jendela itu.

Seharian aku menjauhi Rafa. Sebenarnya aku tidak bermaksud menghindarinya. Aku hanya menghindari perasaanku sendiri. Jujur, sangat sulit menghindari Rafa. Besoknya kami sudah kembali seperti biasa. Mungkin dia juga tidak tau aku menjauhinya kemarin. Menyedihkan. Aku memikirkannya semalaman, mungkin saja Rafa hanya melihat pemandangan, pemandangan disekolahku cukup indah. Lagian, kalo dia suka sama orang lain kenapa? Seorang, Fasha Amalia tidak punya hak untuk ikut campur, bahkan untuk cemburu sekalipun.Saat istirahat Sherly datang memanggilku dari pintu kelas. Aku segera menemuinya. Sherly adalah satu-satunya temanku saat MOS (Masa Orientasi Siswa).

Orangnya betul-betul baik, tipe-tipe orang yang menyenangkan, cantik lagi. Kami mengobrol lama sampai akhirnya dia mengatakan tujuannya ke kelasku. Dia mengatakan bahwa dia menyukai teman sekelasku. Sherly berkata kalo Rafa adalah orang yang disukainya. Belum siap menghadapi itu semua Sherly menambahkannya lagi, dia bilang kalo Rafa sering melihat ke arahnya melalui jendela, lalu tersenyum kepadanya. Kenapa harus Rafa?Masih ada 19 cowok lain dikelas ini. Kenapa?Saat ini aku sangat hancur. Kalo seorang Rafa mengetahui ada gadis manis seperti Sherly menyukainya, aku tidak akan bisa jadi menjadi saingan Sherly, dia perfect. Sedangkan aku, biasa saja, bahkan nyaris dibawah standart. Aku sangat sedih memikirkan ini.

Sherly memintaku mengenalkannya kepada Rafa. Aku mengajaknya masuk kelas dan mengenalkannya. Rafa tersenyum saat aku mengenalkannya. Astaga, apa yang sudah kulakukan. Aku pasti orang terbodoh di alam semesta.Aku pergi meninggalkan mereka. Aku bilang kepada mereka mau ke kantin. Tentu saja itu bohong. Aku selalu membawa bekal makanan dan aku baru saja memakannya. Rafa bodoh! Bahkan dia tidak tau aku sudah makan disebelahnya. Mana mungkin aku lapar? Aku sangat sedih, sedih terhadap diriku sendiri. Mungkin, jika aku mengatakan perasaanku pada Rafa, hal ini tidak akan menjadi seperti ini. Mungkin, jika aku mengatakan bahwa aku juga menyukai Rafa pada Sherly, hal ini tidak akan terjadi.

Aku kembali ke kelas. Kulihat mereka berdua masih mengobrol dan Sherly duduk dibangku-ku. Dalam waktu sekejab dia sudah menggantikan posisiku. Mereka terlihat seperti pasangan serasi dimataku. Benar-benar seperti pangeran dan putri. Sherly melihatku. Dia tegak dan menyuruhku untuk duduk. Hatiku tercekat, Sherly benar-benar gadis manis. Aku bilang tidak usah, lalu aku duduk di kursi yang jauh dari mereka. Sungguh aku tidak ingin melihat mereka ataupun mendengar apapun omongan mereka.Hari demi hari Sherly dan Rafa semakin akrab. Aku benar-benar sudah tidak ada harapan lagi. Aku sangat lelah, padahal aku tidak sedang ada pelajaran olahraga. Aku lelah melihat mereka berdua. Aku lelah memikirkan perasaanku ini.

Aku sekarang sendirian dikelas. Semua sudah pulang dari satu jam yang lalu. Aku terlalu sibuk memikirkan cinta-bertepuk-sebelah-tangan sehingga terlambat pulang. Inilah akibat terlalu berlebihan menyukai seseorang. Aku tau cinta itu buta, tapi aku tidak tau akan segelap ini. Aku tidak tau akan sesulit ini. Aku tidak tau akan mengalaminya sedalam ini.Aku harus pulang. Aku memasukan buku-ku dengan cepat. Terakhir aku melihat ke laci untuk memastikan tidak ada barang yang hilang. Aku malah melihat buku Rafa tertinggal. Aku mengambilnya. Ternyata bukan buku latihan atau semacamnya. Itu adalah buku notes. Notes yang amat menarik, sampul depannya adalah gambar seorang cewek. Rafa tidak terlihat seperti seseorang yang akan membeli notes seperti ini. Aku mulai membacanya.

Aku tau... Kau perempuan termanis yang aku kenal, ramah dan baik.Aku tau... Kau selalu duduk dikursi itu. Memerhatikan setiap pelajaran yang diberikan.Aku tau.. Aku tau raut wajahmu, saat kau senang, sedih, kecewa.Aku tau semuanya... Aku tau semua tentangmu. Karena aku selalu memperhatikannya. Disini, ditempat duduk ini.Aku selalu melihatmu dari balik jendela.Aku tidak sanggup lagi membalik halamannya. Ternyata Rafa sudah menyukai Sherly sejak lama. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Aku menangis sekerasnya.“Fasha? Kenapa lo nangis?” kata Rafa datang menghampiriku .Aku masih nangis. Aku tidak tau kenapa dia bisa disini. Aku sedang sangat tidak ingin bertemu dengannya. Ini menyakitkan.

Tangisku semakin kuat, tapi Rafa tetap memaksaku untuk menjawab. Aku mengatakan pada Rafa seorang yang aku suka menyukai orang lain. Rafa mengatakan bahwa dia akan memberi pelajaran pada cowok itu. Aku diam. Rafa baik. Rafa terlalu baik. Aku tidak boleh cengeng. Aku berusaha berhenti nangis, membulatkan tekatku untuk mengatakan “Tidak apa-apa.”Aku memberikan notes tadi pada Rafa, dia sedikit mengangkat alis, hal yang dilakukannya setiap kali dia sedang bingung.“Coba kamu baca.” Kata Rafa tiba-tiba.Cowok bodoh. Tentu saja aku sudah membacanya. Kau fikir apa yang membuatku menangis? Aku baru saja menangis tapi kau malah ingin menceritakan cerita cintamu dengan Sherly. Dimana perasaanmu?“Aku udah baca barusan.” Kataku singkat.“Jadi kamu sudah tau perasaan aku ke kamu?” tanya Rafa membingungkanku.

Aku menatapnya bingung. Rafa menyuruhku berpindah tempat duduk dengannya. Sekarang aku duduk tempat Rafa seperti biasanya. Lalu Rafa memnyuruhku untuk melihat ke jendela. Aku segera menurutinya. Dari jendela, aku melihat pantulan Rafa. Jadi, selama ini, sosok yang dilihat Rafa dibalik jendela adalah aku. Jadi selama ini aku salah tapi tulisan di notes rafa tadi. Oh iya, aku belum selesai membacanya. Aku mengambil notes Rafa dan membaca halaman selanjutnya.
Apakah kau tau? Sudah nyaris dua tahun penuh aku selalu memperhatikanmu.Saat tau aku sekelas denganmu, aku segara duduk disebelahmu.

Melihat pantulan bayanganmu dari jendela.Dari tempat ini aku bisa sangat jelas memperhatikan gerak-gerikmu.Mungkin aku tampak menjijikan. Aku hanya bisa melihatmu dari pantulan jendela tanpa berani mengucap satu katapun.Tapi sungguh aku menyukaimu, mencintaimu malah. Fasha Amalia.Rafa mengusap kepalaku. “Jangan nangis lagi. Aku ga suka liat kamu nangis.” Aku tersenyum sekarang. “Aku tau ini saat yang ga tepat, karena kamu baru patah hati. Tapi, mau ga kamu jadi cewek aku? Aku janji buat kamu bahagia.” kata Rafa sambil menatap mataku yang pasti sangat amat jelek dan sembab.

Akupun menceritakan semuanya tentang perasaanku, jendela, Sherly dan notes. Rafa menatapku lembut. “Aku cinta kamu Fasha.”Saat Rafa mengatakan itu. Aku merasa, aku adalah perempuan paling beruntung di dunia. Tentu saja aku menerimanya. Kami sekarang resmi pacaran. Aku tidak perduli tentang Sherly, Bu Tuti atau siapapun. Dan aku yakin, walaupun kisah ini tidak seromantis dan dramatis titanic maupun romeo and juliet tapi aku tetep senang. Karena kami pasti akan menjadi pasangan bahagia. Itu saja sudah sangat cukup.

Awal aku masuk disana


Pada tahun 2011 tepat nya aku bekerja di salah satu perusahaan IT. Saat itu usiaku adalah 24 tahun dan posisiku sebagai customer service leader area. Awal aku masuk disana aku di kenal sebagai salah satu orang yang sangat disiplin dan tepat dalam segi waktu bekerja. Aku bekerja disana kurang lebih 2 tahun lamanya. Saat itu kehidupan aku penuh dengan suka cita tanpa memikirkan beban apapun.
Dan sampai akhirnya pada suatu ketika ada orang baru yang datang ke tempat kerjaku. Lalu aku pun bertanya kepada atasanku namanya Bapak Nando. “Pak memang Bapak mau pindah?” Tanya aku. “ga memang kenapa, iren?” Tanya Pak Nando. Oh ga Pak soalnya tadi saya liat Bapak bareng sama laki-laki yang lebih muda dari Bapak. “oh itu,  nanti nya dia akan menggantikan pekerjaan saya, karena saya akan di pindah kan ke pusat!” ujar Pak Nando.

Sejenak pun aku berfikir oh begitu. Namun semakin waktu berjalan aku pun tidak terlalu peduli siapa laki-laki itu. Dan seperti biasa aku menjalani kehidupan aku layaknya anak gadis yang masih have fun sama temen-temennya. Dan seperti biasa ketika pulang kerja aku selalu di jemput oleh pacarku. Dan ketika pulang aku selalu pulang bersama sahabatku namanya ida.Sampai pada suatu ketika aku melihat laki-laki itu lebih dekat dan bahkan sering beberapa kali aku bertabrakan dengan nya. Aku pun cukup aneh kenapa sih selalu aja tabrakan ketika aku mau keluar dari ruang loker dan dia mau masuk. Tapi saat itu pun aku ga ambil pusing, toh aku juga ga kenal dia.Dan di hari berikut nya saat aku mau ambil berkas untuk customer ternyata dia ada tapat di sebelahku.

Aku pun hanya melirik sedikit, lalu dia pun juga melihat aku. Namun aku pun hanya diam dan ga peduli. “buat apa aku repot-repot mikirin siapa dia!” ujar ku. Dan sampai lah suatu ketika teman-teman sekantorku mulai bertanya, “iren itu siapa yang sama Pak Nando?” Tanya mereka. “aku pun menjawab, oh itu nanti yang akan gantiin Pak Nando. Dan entah kenapa dari mulai teman-teman aku, satpam, OB dan SPV aku tiba-tiba aja mereka selalu heboh kalo aku datang dan pada saat ada dia. Aku sendiri aneh, “kenapa memangnya?” ujarku dalam hati. Dan waktu pun terus berjalan sampai akhirnya dia pun sering lewat di depan aku. Namun seperti biasa kita saling cuek dan ga nyapa.

Dan sampai tiba saatnya salah satu temanku namanya Mas Aan, dia pun pindah kerja. Saat dia pindah kerja akhirnya tim kami harus mencari kandidat baru untuk leader di divisi dealer. Dan akhirnya entah kenapa mereka semua mempercayakan tim dealer di pegang sama aku. Sebetulnya aku ga mau tapi berhubung banyak teman yang dukung aku ya,,lebih tepat nya pemaksaan, mau ga mau aku harus ngejalaninya.Dan aku pun di pindah ke bagian dealer di hari berikutnya. Ternyata cerita dia belum berakhir karena memang setelah aku sibuk dengan posisiku yang baru aku pun semakin ga ambil pusing tentang dia. Dan sampai akhir nya di mail chat aku ada nama yang add aku. Aku sih ga tau siapa tapi yang aku baca namanya ariadireja. Sambil mikir apa ini salah satu anak tim lain.

Saat istirahat atasanku pun bertanya, “Iren Aria sudah add gmail kamu?” aku pun menjawab, “oh iya Pak sudah!” ujarku. Dan saat itu pun aku tanya kepada atasan aku, “memang dia siapa pak?” Tanya aku. Atasan aku pun menjawab, “nantinya kamu akan lebih sering berhubungan dengan dia, karena posisi kamu sekarang kan leader!” ujar atasanku. Dan sejenak aku berfikir oh.Dan di hari berikut nya ga tau kenapa waktu dia bolak balik lewat tangga, aku merasa males aja ngeliat dia. Sampai akhirnya ada pesan dig mail chat aku, yang isinya sapaan dari dia. “hei mba Iren salam kenal!” ujar dia.

Tapi ga aku bales cuma aku baca aja. Dan sampai lah dia turun ke bawah karena mesin print ga berfungsi. Dia pun turun tapi seperti biasa dengan wajar cueknya dan sok jaim.
Hari terus berlalu tapi aku tetep ga suka sama dia dari mulai jalannya, body languagenya dan juga gaya rambutnya. Sampai tiba saat nya dia mulai nyapa aku,  “kamu leader disini ya?” ujar dia. Dan aku jawab iya. Hari terus berlalu tanpa tau dan tanpa kami sadari kami semakin akrab. Dan tanpa aku sadari juga dia memperhatikan aku. Karena buat aku dia tipe cowok yang aneh dan suka ngeselin.
Hari pun berlalu hubungan kami pun semakin dekat. Namun masih sekedar temen aja ya,,sampai tiba saatnya dia mulai baik sama aku.

Dia pun mulai menawarkan aku pulang bareng dia. Dan besoknya dia ajak aku makan siang bareng. Hari berikutnya dia juga minta nomer aku. Di situ aku semakin mengenal dia dan aku baru tahu kalau dia ternyata baik juga.Hubungan kami memang deket tapi anehnya saat itu baik aku atau pun dia sama-sama mempunyai pasangan. Tapi aku juga ga tau kenapa dia perhatian banget sama aku. Dan aku pun masih tetep menjaga jarak dengan nya karena aku tau dia masih ada pasangan begitu juga dengan aku. Tapi lucu deh kita tuh ga pacaran tapi dia tuh selalu ada terus setia nungguin semua kegiatan aku.

Jadi inti  dari hubungan kami bukan pacar tapi deket aja. Karena kita dah sama-sama gede jadi ga ada deh yang namanya jadian kayak anak jaman SMA. Yang pasti awal mula pertemuan kita sangat singkat. Namun pertemuan aku sama dia berkesan banget dan ga bisa di lupain. Nah, itu sepenggal kisah aku bisa ketemu sama dia hingga sekarang.Semoga hubungan ini bisa langgeng hingga kami tua nanti ami. Karena saat ini kami sudah menikah dan memiliki satu anak. Dan alhamdulilah pernikahan kami sudah berjalan 6 tahun. Sekian kisah saya semoga bisa jadi pengalaman yang indah juga buat kalian disana.

Dongeng tentang Tuan Gembala


Dongeng tentang Tuan Gembala Pernahkah kau bertemu dengan orang dengan deskripsi berikut? Kulitnyakecoklatan, tubuh kering kerontang dengan baju putih usang. Dia mempunyai tahilalat disudut pipi kirinya. Hidungnya agak mancung, bulu matanya lentik, daguyaancip dan warna matanya abu-abu gelap. Jika ia melihatmu lewat, ia biasanya akanberteriak “Hai Fulan!!! Mampirlah disini sekejap. Baringkanlah lututmu yang kakuitu. Kemarilah! Aku akan menyanyikan sebait lagu untukmu”. Jika kau bertemudengannya, bilanglah aku menitipkan salam. Karenanya, aku tersadar akankebodohanku selama ini.

Karenanya, aku terbangun dari imajinasiku dan menatap realita yang ada. Karenanya, aku tidak kenal takut. Aku akan terus berjuang demihidupku.Sebutlah ia sang Gembala, dini hari sekali ia menuntun domba-domba kurang ajaritu mengisi perut.Lihat? Mereka jauh lebih gemuk daripada dirinya, ku yakin suatusaat jika rumput telah habis dirinyalah yang akan tertelan oleh domba-dombakurang ajar itu. Selepas matahari mulai muncul kepermukaan, sang Gembala sudahnangkring di bawah pohon beringin tua. Memainkan suling yang ia anggap sebagaisuaranya, tatapannya menyusuri satu per-seratus domba yang memangkas habisrumput lembah di balik bukit itu.

Disaat matahari sudah berteriak lelah dan mengendap-ngendap meninggalkan langit, barulah ia menguap dan menggiringdombanya pulang. Melelahkan. Sungguh! Tak sudi aku jika harus bekerja sepertidirinya ,Disuatu pagi aku melihat dirinya lagi, dengan baju dan penampilan yangsama. Ia menari bersama domba-dombanya menyusuri bukit menuju lembah yang iakata surga para domba. Aku masih menenteng kelapa sawit yang baru ku panjat dania berteriak kearahku “Hai Fulan!!! Mampirlah disini sekejap. Baringkanlah lututmu yang kaku itu. Kemarilah! Aku akan menyanyikan sebait lagu untukmu”. Akumemasukkan kelapa sawitku dalam karung dan berteriak balik “Aku sedangbekerja!” lalu menenteng karung hasil unduhanku ke pasar kecamatan.

“Dasarnorang kesepian” rutukku dalam hati.Disuatu pagi yang lain, aku melihatnya tertawa dengan lepasnya. Diiringidengan suara domba yang mengembik disekelilingnya. Penasaran, aku mengintipdiantara semak-semak. Tak sadar, ia melihatku dan menghampiriku “Hai Fulan!!!Mampirlah disini sekejap. Baringkanlah lututmu yang kaku itu dan lihatlah ini. Anakkedua dari dombaku telah lahir, keluargaku sekarang genap sudah 102.” Katanyasambil memperlihatkan gigi kuningnya yang gingsul. Ohh, dari sini aku bisa menciumaroma tubuhnya yang busuk.“Aku sedang bekerja” kataku sambil berlalu meninggalkannya. Ia mengejarku danbertanya

“Buat apa?”“Ya makan” jawabku gemas“Alam baik, tanpa bekerja kau bisa makan”“Tapi tak bisa belanja”“Belanja apa?”“Pakaian”“Tadi katanya buat makan”“…”Sambil terus berjalan aku merutuk jengkel dalam hati. Meninggalkannya yangsepertinya sudah lelah mengikutiku. Kembali kepada domba-domba kusut yang adadi lembah itu. Bisa ku bayangkan ia cengengesan sambil menggendong anak dombaitu. Seratus dua katanya? Dasar juling!Disuatu pagi yang lain lagi, aku berencana untuk memetik kopi liar yangtumbuh di bukit. Disaat yang sama aku melihat tuan gembala sedang bersiap diriuntuk memulai harinya. Tuan gembala mengambil ranting yang bersandar di depanrumahnya, dan ia mulai menari. Ha?

Dia menari. Aku tak pernah melihat gaya tarianseperti itu. Ia menari dengan memainkan tongkat rantingnya, menempatkannyasebagai penyangga lalu mengelilinginya. Lalu ia seakan memikulnya, sambil bergayaseperti orang barjalan kaki. Hanya saja dia tetap di tempat. Hey! Dia sedang apa?Aneh sekali. Hidupnya sangat aneh, kemarin dia menganggap domba-domba itukeluarganya. Sekarang, ia menganggap ranting pohon sebagai kekasihnya. Apakah iabodoh? Ah sudahlah. Baiknya aku meneruskan perjalananku menuju bukit, mencaribiji kopi agar dapat uang.Aku berangkat pagi-pagi sekali, sebelum langit mendapatkan pantulan sinardari matahari, aku sudah berlari kencang menuju bukit.

Sambil membawa lenteradan umbi kukus yang baru saja ku angkat dari tungku apiku. Aku membawa karung,berharap kopi-kopi di hutan sedang berbuah banyak. Karena kemarin aku lihatbanyak sisa pohon kopi yang belum sempat kupetik, jadi sekarang aku harus meraupsemuanya. Ditengah kesibukanku memetik kopi, aku mendengar suara mengembikseekor domba. Pasti si tuan gembala tengah sedang menggiring mereka ke rumputilalang lagi, pikirku. Aku heran, rerumputan di lembah tak pernah habis dimakanseratus satu domba itu, padahal, mereka disana setiap hari! Andaikan rumput bisadijual, pastilah kaya sekarang aku. Tak perlulah aku memilih satu persatu biji kopiseperti sekarang. Namun, sebentar.

Rumput memang tidak bisa dijual, namun seekor domba, mahal sekali harganya di pasar kecamatan. Aku merenung sejenak,namun suara teriakan si tuan gembala bodoh itu membuyarkan pikiranku. “HaiFulan!!! Baringkanlah lututmu yang kaku itu. Jangan kau melamun saja seorang diridi tengah hutan seperti ini. Bahaya!” Teriaknya sambil memainkan suling dengantangannya.“Siapa yang melamun?” Sanggahku sambil melanjutkan kegiatanku memetik kopi“Kau mau tau sebuah syair?” ia bertanya kepadaku sambil sesekali menatapsekawanan domba yang pergi ke lembah mendahului dirinya.“Tidak perlu” jawabku singkat.“Baiklah, jika kau penasaran, mampirlah ke bawah pohon itu sekejap! Aku akanmenyanyikan sebuah syair untukmu” dan ia berlalu mengejar domba-domba itu kelembah.

Malam hari, aku terus berfikir. Dengan menjual seekor domba saja, akusudah bisa membeli lima pakaian dan beras untuk makan. Bagaimana jika akumenjual sepuluh? Dua puluh? Sungguh, aku pasti bisa membeli banyak pakaianuntuk pergi ke pasarkecamatan. Aku juga bisa membeli beras sehingga tak usah lagiaku makan umbi yang tak enak itu. Aku juga bisa membeli sepatu, gayaku sudahseperti Belanda,hanya tinggal kulitku saja yang butuh disabun. Aku berniat, besokaku akan meminta tuan gembala menjual dombanya, lalu memberi uang hasilnyaseparuh padaku. Pasti ia senang sekali dengan rencanaku ini.Pagi hari, aku mengetuk pintu dan mengucap salam.

Ranting pohon ini awet sekalibersandar di dahan pintu tuan gembala. Pintu dibuka, tuan gembala tertawa riangsambil berkata “Hey Fulan! Kau mau mendengar syairku?” ia menepuk pundakkulalu masuk kembali kerumahnya untuk mengambil suling. “Kau tak ke Bukit hari ini?” Katanya sambil membawa gembala-gembalanya keluarrumah. Sebenarnya, tuan gembala tidak mempunyai rumah. Ini hanyalah pondoktempat para domba-domba itu bermalam. Tuan gembala tidur di ruangan tumpukanjerami disamping pondok, cukuplah untuk membuatnya tak basah saat hujan.“Tidak” Tuan gembala tidak bertanya lebih lanjut, ia menggiring dombanya menujulembah. Ia memainkan sulingnya selama perjalanan dan aku-pun mengikutinya daribelakang. “Hei Fulan, kau mau mampir?” tanyanya. Aku mengangguk.

Ia tertawalalu duduk dibawah pohon tempat biasa ia singgah. “Mari sini, aku akanmenyanyikan sebuah lagu untukmu”. Aku duduk disampingnya, ia sangat bau sekali.Dari dekat, sangat terlihat badannya yang penuh kotoran dan kakinya yangberlumpur. “Kau tidak perlu menyanyikan apapun” Kataku sambil menatap tajamkearahnya. Ia melihatku sambil cengengesan dan berkata “Hey Fulan, kau tidak usahmalu-malu. Katakan apa yang kau inginkan, kalau boleh, bisa jadi aku bisamembantu” Tuan gembala bersidekap dengan tenangnya lalu meniup sulingnyaselaras dengan hembusan angin.“Kau tidak berniat menjual dombamu?” tanyaku. Ia meneruskan melodi sulingnyasebentar, lalu menjawab pertanyaanku “Tentu saja tidak” dan ia-pun kembalimemainkan serulingnya.

“Kenapa?” Tanyaku lagi.“Keluarga”“Maksudmu?” Ia menghentikan permainan sulingnya dan kini fokus untukmenjawab pertanyaanku.“Pernahkah kau lihat seseorang menjual keluarga?” tanyanya. Bukan jawaban,ternyata. Pertanyaanku menggantung. Ia lalu melanjutkan perkataannya. “Jika kau mau, aku bisa memberimu salah satu keluargaku. Rawatlah ia dengan hatimu. Kauakan dapat merasakannya” katanya lagi.Lalu ia mendekati salah satu domba kecil, mengelus kepalanya dan seakanberbincang dengannya. Lalu ia menunjukku, dan menggiring domba itu untukmenghampiriku. Ia berkata lagi “Bawalah dia, orang tuanya telah meninggalsemalam.

Dia sebatangkara. Aku telah memberitahunya bahwa kau bisa menjadipengganti keluarganya selain aku. Kini ia milikmu” Aku hampir menjerit girang, inginku berlari membawanya langsung ke pasar kecamatan. Namun, melihat domba iniringkih sekali, pastilah harganya tak jauh beda dengan kopi yang kujual kemarin.Dasar penggembala pelit, ngasih kok yang kecil. “Iya, terimakasih” kataku. Setelahitu, aku langsung menuntunnya pulang tanpa tau apa yang harus ku lakukan padadomba ini selanjutnya.Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh suara domba yang ku ikat di tiang depanrumahku. Aku keluar untuk melihatnya, mungkin saja dia sudah cukup besar untukdijual di pasar Kecamatan.

Domba itu menatapku, berputar putar sambil berusahamelepaskan ikatan talinya di tiang. “Kenapa?” tanyaku tanpa sadar. Tiba-tiba akuberbicara dengan hewan, ada apa dengan diriku? Aku langsung masuk ke dalamrumah. Mengurung diriku seharian dan tidak pergi kemanapun. Pagi berikutnya, akuterbangun lagi oleh teriakan domba kecil itu. Aku keluar rumah, berfikir mungkinkalau sekarang ia sudah cukup besar untuk dijual. Ternyata tidak, bahkan ia lebihlemas daripada sebelumnya. Tak sabar, aku membawanya ke lembah. Berniatmengembalikannya kepada tuan gembala. Saat menuruni bukit, domba itu lepasdari peganganku dan berlari kearah sekawanan domba lain yang sedang berkumpuldi lembah.

Aku meninggalkan domba itu, pergi menghampiri tuan gembala yangsedang berbaring menatap ranting pohon beringin. Ia menyadari kehadiranku disampingnya dan berkata “Hai Fulan, kalau boleh, aku ingin bilang kepada hujan”ucapnya tiba-tiba“Bilang apa?”“Kalau jatuh jangan ramai-ramai”“Ha?” Aku tertegun.“Kasian domba-dombaku terbirit-birit dibuatnya”“Ha..ha..haa, kau sangat dungu” tawaku meledak. Bagaimana bisa hujan jatuhsendiri sendiri? Itu bukan hujan namanya. Tuan Gembala menatapku, tersenyum.“Aku baru kali ini melihatmu tertawa” katanya lagi. Mungkin saat ini wajahku tengahmemerah karenanya. Aku mengalihkan pandanganku melihat domba kecil yang tadikubawa dari rumah.

“Domba itu kecil sekali, lemah” kataku berniat agar ia menukarnya dengan dombayang lebih besar“Iya, namun setidaknya ia tau apa yang ia inginkan” Aku berfikir sejenak, akusungguh tidak dapat memahami perkataan penggembala ini. Ia sangat aneh, iaberkata seolah olah ia adalah domba itu.“Kamu tau Fulan, aku pernah bermimpi menjadi penyair” kata tuan Gembala lagi.Aku menatapnya dengan heran. Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar dariseseorang. Semua orang pasti bisa membuat syair. Aku-pun bisa, hanya sekedarmerangkai kata bodoh dan mengucapkannya lantang, hanya saja, aku tidak punyawaktu untuk itu. Itu tidak menghasilkan uang, tidak bisa membuatku sepertiBelanda.“Kamu mau dengar syairku?” tanyanya antusias.

“Tidak usah” jawabku singkat. Ia mengangguk pelan lalu memainkan sulingnyaseiring dengan hembusan angin. Sebenarnya, aku sangat menyukai alunan musicyang ia mainkan. Aku seperti bisa melihat angin yang berhembus kearahku. Saat iamenerbangkan satu persatu helai rambutku, menyentuh pipiku, menyusup di selaselabajuku, melewati jari-jariku. Aku seperti merasakannya. Tubuhku menjadisangat ringan, bahkan saatku memejamkan mata, sangat damai. Tuan gembalamengakhiri permainan sulingnya, dan itu membuatku terbangun dan tersadarbahwa hari sudah mulai senja. Perutku sangat lapar, aku belum makan sehari penuhkarena menjaga domba-domba bodoh ini.“Ayo” ajaknya. Ia menuntun puluhan domba itu menaiki bukit, menuju tempatmereka singgah dikala gelap. Aku mengikuti jejaknya, menuntun dombaku pulangdari tanah lapang itu dan kembali mengikatnya di tiang depan rumahku.

Di tengahperjalanan, tuan gembala menggali umbi liar di bukit dan memberikan setengahnyapadaku. Aku tercengang, kemarin aku mencari kopi hingga senja untuk ditukardengan umbi ini di pasar kecamatan. “Bukankah alam sudah baik?” katanya. Lalumeneruskan perjalanannya sambil bersenandung riang dengan domba-domba yangberlari-tak sabar tuk sampai di rumah.Pagi. Hari dimulai lagi. Aku menggiring dombaku ke lembah dibalik bukit sepertikemarin pagi. “Hay Fulan!” kata tuan gembala dari kejauhan saat aku tengah dudukdi bawah pohon beringin tua ini. Aku sudah sangat terbiasa akan sapaanya setiaphari. “Kau mau mendengar syairku?” Tanyanya lagi. Aku menggeleng,memperhatikan domba domba yang asyik bercengkrama sambil menyantaphidangan pagi ini. 

“Kau tau Fulan, kenapa lembah ini selalu dipenuhi rumput?” Tanya tuan Gembalapadaku. Aku menggeleng, tentu saja aku tidak tau, itu pertanyaanku beberapapekan yang lalu.“Rumput disini selalu tumbuh dikarenakan tanah ini selalu basah” jawabnya singkat“Memang kenapa kalau basah?” tanyaku“Ahh kamu Fulan, perlu membaca buku dirimu ini agar otakmu sedikit terisi” katatuan gembala. Ia mengganti posisi duduknya dengan bersila dan memegangpundakku “Hey Fulan, kau bisa membaca?” aku menggeleng. Melihat buku-pun akutidak pernah. Ia mengangguk singkat, dan memainkan serulingnya lagi. Aku masihterjebak dengan pikiranku sendiri. Tuan gembala tidak pernah menjelaskan sesuatusecara gamblang. Aku selalu dibuatnya untuk berfikir.

Pukul empat pagi, aku bangun dari kasurku. Menggiring dombaku melintasipersawahan kampung menuju lembah dibalik bukit. Tuan gembala memberikubenda kotak dengan lampiran-lampiran yang berbahan seperti uang kertas, namunberwarna putih. Entahlah, ini seperti yang ada di uang kertas, namun lebih banyak.“Ini apa” tanyaku“Buku, kau bacalah” aku membukanya, dan menunjuk salah satu bentuk yangfamiliar denganku.“aku pernah melihat ini di uang kertas lima ribu” kataku“Itu huruf”Semenjak hariitu, Tuan gembala mengajariku membaca dan menulis. Jika kubertanya untuk apa, katanya biar aku semakin mirip Belanda. Aku baru tau Belandabisa melakukan hal seperti ini, selain mempunyai banyak uang tentunya.

Tuan gembala bilang, dulu sebelum Belanda kesini, dia terlebih dahulu belajar membacadan menulis, persis seperti yang aku pelajari saat ini. Aku mengangguk tandamengerti, selama itu bisa mirip Belanda, aku tak keberatan melakukan hal apapun.Pernah tuangembala bertanya kepadaku, kenapa aku sangat ingin mirip Belanda.Kujawab, karena saat Belanda lewat di pasar kecamatan, orang-orang selalumemberinya jalan. Ketika membeli sesuatu selalu didahulukan, enak sekalipokoknya. Rumahnya besar-besar, pakaiannya bagus-bagus, dan selalu punya uang.Dan tuan gembala hanya tertawa dan mengetuk kepalaku, “Apakah kepalamu masihada isinya, Fulan?” tanyanya kepadaku.

Malam hari, tiba-tiba tuan gembala mengetuk pintu rumahku. Ia menitipkandomba dombanya dan juga sulingnya padaku. Ia bilang, ia perlu ke kota. Akubingung, tidak pernah sekalipun ku lihat ia ada minat dengan kecamatan, dansekarang ia mau ke kota. “Perlu apa?” tanyaku. “Ketemu bapak presiden” guraunya.Atau, mungkin bukan gurauan. Walaupun sudut bibirnya menampakkan senyum,matanya serius sekali. Aku hanya mengangguk dan menerima suling itu.Pagi ini dan pagi-pagi berikutnya, aku menggembala seorang diri. Akumenggiring ratusan dombaku dan dombanya melewati lembah dibalik bukit. Ketikamalam, aku menempatkan dombanya dan dombaku dibelakang rumahku.

Di kampung ini mulai banyak pendatang, satu-dua orang berkata dari kota. Ketika ku Tanya tentang tuan gembala, mereka bilang “Kota itu luas nak, wajar saja jika akutidak bertemu paman gembalamu” . Aku memutuskan untuk mengunjungi ruangjerami tuan gembala, ternyata disitu ada radio kecil dan juga coretan-coretan syairmiliknya.Tuan, Enak nian kau berpangku tanganMelihat Rakyatmu yang bosan dengan perangTuan, Kalau bolehBiarlah aku yang mengulurkan tanganMembantumu memerintah pemerintahanAgar tersenyum damai rakyatmu saat dikuburkan

Ketidaksengajaan yang mempertemukan aku


Ruang Sendiri Beri aku waktu, untuk bisa merindukanmu. Lagi..Beri aku waktu, untuk merasakan pelukanmu. Lagi..Beri aku waktu, untuk menggenggam tanganmu. Lagi..Beri juga aku ruang, untuk bebas dan sendiri..Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin. Hingga aku lupa rasanya sepi..Sejenak bayanganmu disini, lalu pergi kembali..Beberapa tahun yang lalu, dia yang sedang berlarian kecil mengitari taman kompleks di minggu pagi. Pertama kali aku bertemu dengan dia, pertama kali nya awal perkenalan ku dengan dia. Ketidaksengajaan yang mempertemukan aku dengan dia, saat aku memainkan sepeda kayuh ku di sisi taman pagi itu, saat aku terjatuh dari sepeda kayuh ku entah memang karena aku yang ceroboh atau memang aku tidak pandai memainkannya. Dia menolongku, membantuku bangun. Luka menggores mulus kulit lutut ku.

Darah terlihat samar-samar mengalir kecil disana. Dia yang melihat itu, spontan membungkuk dan mengobati luka itu. Dia yang bermata coklat gelap, dia yang tinggi, dia yang berparas tampan, dia yang berkulit coklat manis.Dia. Alana Gardion Dirgara.Dia yang hingga saat ini masih berhasil menduduki ruang dihati ku. Aku. Natasha Anggia Girdan.Aku yang jauh dari kata sempurna. Aku yang sampai sekarang masih menyimpan kuat kunci hatinya yang dia serahkan padakuSenin. Hari senin. Artinya Ata harus masuk sekolah setelah akhir pekan kemarin. Namun jangka waktu dua hari tidak cukup bagi Ata. Buktinya ia hampir telat bangun gara-gara marathon film-film dan drama Korea kesukaannya. “Ata, pelan-pelan dong makannya.” Ata memasukkan dua lapis roti isi coklat kacang buatan mama. “Naw...nti de..wat maaa..” (nanti telat ma) potongan roti itu hampir saja keluar.

“Makanya jangan suka begadang kamu, jadi telatkan, emang Oppa ganteng kamu mau nganter? Ini susu nya diminum”. Asha, selaku mama Ata sudah hampir hafal dengan sebutan Oppa-oppa Korea kesukaan anaknya itu. Belum lagi jika fangirl Ata kumat, bisa pecah rumah ini jadi dua bagian.
“Dah, Ma. Ata mau jalan dulu yaa. Salim dong.” setelah berpamitan dengan sang Mama, Ata berlari keluar rumah agar tidak tertinggal bis sekolah. “Huh, masih 06:25 telat lima menit bisa ketinggalan gue”. Untung saja ia tidak tertinggal bis yang biasa mengantarkan nya ke sekolah. Bis berwarna hijau putih itu datang dan Ata sesegera mungkin naik dan cari tempat duduk yang nyaman untuk diduduki.

Di seberang jalan dimana bis sekolah itu berhenti, seseorang terlihat sedang mendorong motornya di pinggir jalan. Ban nya kempes setelah menancap paku di jalan. Anak laki-laki dengan seragam bertuliskan “SMA Pilar Nusantara” disisi kanan lengan atasnya itu mengusap peluh yang menetes di dahi nya. Mau tidak mau ia harus mendorong motornya ke bengkel terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama agar cepat sampai disekolah.Ata datang tepat saat bel masuk berbunyi. Gadis itu segera menuju kelasnya yang berada di lantai dua gedung Sosial. “Ini sekolah kayanya punya banyak duit deh, bangun eskalator atau lift kek.. biar ga susah-susah naik tangga heu”.

Ngomong sendiri aja neng, dah gila ya?”. Luna berusaha menjajari Ata yang sudah berada di ujung anak tangga terakhir. “Eh si ibu, pagi-pagi dah ngatain orang aja. Pernah ditampol pake pedang Goblin belom?” Ata menimpali. “Sayangnya.. udah haha”. mereka berdua tertawa sepanjang jalan tanpa menghiraukan tatapan bingung dan heran dari teman-teman lain. Mungkin mereka sudah berfikir ‘gila kali nih anak’ dan bel masuk pun berkumandang seantero sekolah.“Aduh mampus, jam tujuh kurang nih”. Bel istirahat berbunyi, Ata dan Luna keluar kelas menuju ke kantin. Dijalan, Ata tidak melihat Alan yang biasa nya duduk di bangku pinggir lapangan bersama teman-temannya. Ata sempat berfikir jika Alan mungkin sudah dikantin atau dikelas. Setibanya dikantin, Ata melihat sekeliling, ia hanya menangkap teman-teman Alan duduk bergerumbul di meja pojok kantin. Ata berjalan ke arah mereka, sedangkan Kelsey mengantri makanan.

“Jun, galiat Alan?” suara Ata membuat ke-empat cowok itu menoleh. “Eh, Ata. Tadi Alan ijin pulang kayanya, gatau deh kenapa.” Jawab Juna yang di ikuti anggukan oleh Dion, Jaka, dan Gilang. “Oh, gitu ya. Yaudah deh, makasih ya.” Ucap Ata. “Eh, Ta. Emangnya Alan ga kabarin lo?” tanya Gilang. Ata menggeleng, ia berusaha untuk positve thingking terhadap Alan. Kemudian Ata kembali ke meja Kelsey dan menghabiskan makanannya.Ata kira-kira kemana ya, Kels?” aku mulai khawatir dengan sikap Alan belakangan ini,  Alan yang sering sekali pulang mendadak. Alan terlihat jarang keluar kelas, Alan yang biasanya selalu ke kelas Ata di jam istirahat atau pulang pun sudah jarang. “Gue gatau, Ta. Kali aja ada urusan mendadak? Trus dia pulang deh. Gamungkin kan Alan mabol gitu aja” benar juga kata Kelsey.

Tapi aku tetap khawatir dengan Alan. Setiap aku tanya Alan, ia selalu menjawab “Aku gapapa kok, Ta. Jangan khawatir, aku baik-baik aja”. Entahlah, aku harus percaya pada Alan. “Gausah khawatirin Alan, gue yakin dia baik-baik aja, Ta” ucap Kelsey sambil merangku pundakku. “Yaya.. balik ke kelas yuk” “Ayo deh”Hari ini, Alan mengajakku jalan-jalan. Dia akan menjemputku jam 3 sore. Alan mengajakku jalan-jalan, makan, dan tentunya kami membeli ice cream favorite aku dan Alan. Sepanjang jalan Alan menggenggam tanganku. Memang setiap kali kami jalan, dia selalu melakukan hal itu. Tapi kali ini aku merasa ada yang berbeda. Mungkin hanya ilusiku saja.

“Ata, abis jalan temenin aku ke rumah sakit ya, aku mau nebus obat” tiba-tiba Alan mengatakan hal itu, “Ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Lan?” tanya ku. “Ga ada yang sakit kok, aku disuruh tante aku buat ambil obat aja. Mau ya?” Alan tersenyum, namun senyum nya terlihat bukan senyum tulus. Ada garis cemas didalam nya. “Okayy” Alan menggandeng tanganku kemudian berjalan menuju tempat parkir.Setibanya di rumah sakit, Alan memarkirkan mobilnya lalu keluar dari mobil. “Tunggu bentar ya, aku ambil obat dulu” pamit dia, aku menunggunya di mobil, aku tidak suka bau rumah sakit jadi menunggu di mobil saja. Sampainya di bagian obat salah satu rumah sakit di kota ini,“Permisi  sus , saya mau mengambil obat atas nama Alan Digara” tanya Alan pada suster yang berjaga di apotek. “Oh, mas Alan ya?

Tunggu bentar ya mas” suster itu masuk kedalam dan kembali dengan membawa sebungkus obat dari dokter yang menangani Alan setengah tahun ini. Alan membayar obat tersebut kemudian beranjak pergi, “Semoga cepat sembuh, mas” pesan suster tadi pada Alan. Alan hanya tersenyum pada suster itu. Alan berjalan menuju mobilnya.“Hai, lama ya?” tanya Alan begitu ia duduk di bangku setir. “Engga, kok. Aku kira ga secepet ini malah. Itu obatnya banyak banget, semoga tante kamu cepet sembuh ya” begitu kalimat Ata meluncur begitu saja, hati Alan melengos. Ia merasa kasihan sekaligus bersalah kepada Ata.Gadisnya itu tidak tahu siapa sebenarnya yang akan meminum itu. Amin, semoga aku cepet sembuh ya, Ta. Biar aku bisa terus sama kamu. Ucap Alan dalam hati kecilnya. “Iya, makasih ya, Ta” Alan tersenyum pada Ata.

Pagi ini, aku berangkat sekolah pagi-pagi. Kebetulan pas digerbang, aku bertemu Kelsey. “Woy.. tumben kita barengan dateng nya?” Kelsey merangkul bahu ku. “Jodoh kali? Haha” Kelsey tertawa mendengar jawabanku. Kami berjalan beriringan ke kelas. Kelasku dan Kelsey sama, 11 IPS 2. Aku dan Alan seangkatan, dia 11 IPS 1, kelas nya bersebelahan dengan kelasku. Begitu aku melewati kelas Alan, aku melihat sekilas dia sudah terduduk dibangkunya. Sepertinya dia akan meminum sesuatu, entah apa itu. Aku berpamitan pada Kelsey, aku berlari kecil kekelas Alan.“Pagi, Alan...” sapaku diujung pintu kelasnya. Alan sedikit kaget dan buru-buru ia masukan apa yang baru saja ia minum tadi. “Pagi, Ata.

Kebiasaan, selalu bikin orang kaget deh” Alan memasukkan bungkusan kecil kedalam sakunya, jika aku tak salah lihat. “Hehe.. maaf deh. Lagian kamu abis minum apa sih? Kok kaya obat gitu? “ aku bertanya padanyaAlan terlihat aneh begitu aku bertanya seperti itu, “Itu tadi, cuman vitamin aja, Ta. Mama kasih tadi pagi” aku mengangguk, “Aku kira obat apa” Alan menggeleng sembari tersenyum padaku. “Ayo, aku anter kekelas kamu” Alan bangkit dari bangkunya, “Gausah deh, aku balik sendiri aja. Bye Alan, semangat belajar nya!” aku melambaikan tangan padanya dan kembali ke kelasku.Aku tidak salah lihat. Ya. Tapi Alan bilang itu hanya vitamin, vitamin banyak amat ya? Ah, kali aja bener. Positive thinking aja lah.

Semoga Alan baik-baik saja. Ya. Bel masuk pun berbunyi. Aku segera menyiapkan pelajaran hari ini. Tak lama kemudian,“Selamat Pagi, Anak-Anak!” Itu tandanya Bu Sinta masuk kedalam kelas. Pelajaran kesatu hingga keempat sudah berakhir, entah mengapa aku jadi lapar selepas pelajaran administrasi tadi. Benar-benar menguras tenaga dan energi jika kedapatan kuis dadakan dari Bu Indah. Untung saja aku hafal dengan materi nya, jika tidak? Entahlah. “Kels, kantin ya? Gue laper nih. Yayayaya???” Kelsey yang mengadahkan kepalanya ke meja, mungkin dia sama lelah nya karena kuis tadi, “Hmm, ayo. Gue juga laper, bisa lemes gue kalo dapet kuis dadakan kaya gini” benar saja dugaanku.

Kami berdiri dan berjalan ke kantin. Sepintas aku melihat kelas Alan kosong. Benda disaku rok ku bergetar.Alan Dirgara: Aku tunggu dikantin ya, maaf aku tadi ditarik anak-anak jadi ninggal kamu deh:)Natasha A Girdan: Gapapa, aku juga lagi otw sama Kels:)Alan Dirgara: Ok!Ternyata pesan dari Alan, dia sudah dikantin terlebih dahulu. Aku dan Kelsey tiba dikantin. Terlihat Alan dan teman-teman nya berkumpul di meja paling pojok.”Lo kesana aja dulu gapapa, gue yang pesenin makanan lo” kata Kelsey. “Wah, Kelsey baik deh. Aku terharu” jawabku, “Idih, geli, Ta. Sono sono, hush hush” aku diusir Kelsey. “njir, gue diusir. Yaudah bye. Jangan sampe salah pesen. Awas lo” “Iye bawel” Aku berjalan ke meja Alan.

Disana sudah ada Juna, Dion, Jaka, dan Gilang. Mereka sudah mengenalku sekitar 1 tahun yang lalu, tepat mana aku menjadi pacar Alan. Aku berfikir mereka adalah orang-orang yang jutek dan jaim, tapi aku salah dugaan. Mereka kocak dan sangat baik padaku, setauku pertemanan Alan dengan mereka sudah lama terjalin. Mereka juga kenal dengan Kelsey.“Eh , ada Ata. Sini-sini, Ta” sapa Juna sambil menepuk kursi disampingnya memberi tanda menyuruhku duduk di situ. “ye, si kambing. Ata duduk sebelah gue” sela Alan yang membuat ku tersenyum, “Idih, santai ae mas, bercanda juga” kata Juna, seketika kami tertawa melihat Juna memnyunkan bibirnya. Tak lama kemudian, Kelsey datang membawa nampan. “Misi-misi, rang cantik mau duduk. Geser dong Jun”

“Yassalam, ini nenek gayung biasa ae lah, minta baik-baik kek” ucap Juna sembari menggeser kursinya. “Jun, lo ngatain Kelsey abis ini lo masuk uks, Jun” ucap Dion yang membuat kami tertawa, tapi tidak dengan Kelsey. “Dion lebih baik diem deh, kamu berisik ya” jawab Kelsey. “Uhh, ngomong nya udah pake aku-kamu nih? Ko gue gadenger kabar gusak-gusuk gitu ya?” sindir Jaka yang membuat Kelsey makin naik pitam. “Gitu lo yon, jahat lu. Gue cemburu tau” ucap Juna.
 “Apaan sih, bawel lo pada. Ini Ta, pesenan lo” Kelsey memberikan sepiring batagor dan somay, “Makasih, cuyung” Kelsey mengedipkan mata nya “Gomban ya” Kelsey tertawa padaku, “Jahat, Kels. Eh kalian ga makan apa?” tanyaku pada mereka.

Bentar lagi juga dateng, Ta. Duluan aja gapapa, ntar gue liatin kamu makan” goda Alan. Aku hanya tersenyum. “Aduh, mata gue! Mata gue gaisss... sakit sakit sakit” Kami tertawa melihat Gilang pura-pura sakit mata melihat Alan menggodaku. “Kels, lo gamau suapin gue gitu? Biar ga mereka doang yang bisa romantis,” tanya Juna“Oh, lo mau Jun? Gue suapin pake cangkul apa pake sekop?” jawab Kelsey. “HAHANJIR!!! MAKAN TUH SEKOP, HAHAHAHA” Kelsey dan juga selalu saja bertengkar. Pertengkaran mereka terkadang membuat meja kami lebih ramai dari meja lain. Kami berhenti tertawa dan kembali fokus dengan makanan masing-masing. Ada-ada saja, pikirku. Alan melahap nasi Padang yang sedang ia makan, aku menoleh padanya. Setetes darah mengalir turun dari hidung mancungnya, aku tidak salah melihat. Itu. Darah. Jarang sekali dia mimisan seperti ini.

“Alan, Alan, kamu mimisan?” refleks aku mengerluarkan tissue yang ada didalam kantong ku dan ku arahkan ke hidung nya untuk menyumbat darah yang keluar. Sontak saja, Dion dan yang lain berhenti makan dan menatap Alan. “Gue anter ke uks, Ayo!” Aku panik. Ya aku panik, Alan itu jarang sekali sakit. Gilang dan Juna berdiri membopong Alan. Alan berdiri dan jalan cepat meninggalkan aku dan Kelsey. Suasana kantin heboh seketika, “Paling Alan kecapekan kali, Ta” Kelsey mencoba menenangkanku. Aku menatap Kelsey tak percaya, “Dia baik-baik aja, lo mau susul dia?” Aku menggeleng pelan. darah yang mengalir itu tercetak jelas di mataku, aku punya Hematophobia. Aku masih duduk terkaku di kursi. Kelsey memelukku seakan tahu akan kelemahanku. Hari itu, Aku melihat Alan berdarah.

“Lan, lo istirahat aja dulu. Ntar gue yang minta ijin sama guru dikelas” aku masih di uks, membersihkan darah yang mengalir dari hidungku. Aku terkejut begitu Ata melihatku mimisan, aku tau dia takut darah, tapi kali ini dia malah yang mengusap darahku dengan tisa yang masih aku pegang sampai saat ini. “Gimana keadaan Ata? Tadi dia yang lihat gue mimisan kaya gini” Juna,Dion, Jaka dan Gilang menggeleng. “Terakhir gue liat tadi, muka Ata pucet, Lan” Jawab Jaka. Ata pasti akan bertanya-tanya mengapa aku sampai mengeluarkan darah seperti ini. “Lo tumbenan mimisan kaya gini, Lan. Lo sakit?” pertanyaan Gilang seolah-olah berhasil mencekik leherku untuk tidak berbicara.

“Gue gapapa, mungkin gue agak kecapekan kali” Mereka mengerutkan dahi dan menatapku seakan-akan mereka bertanya ‘masa?’.“Ah gamungkin lo kecapekan, dulu pas kita main basket dari jam subuh sampe maghrib lo ga kenapa-napa deh” Gilang menyenggol lengan Jaka. Aku tersenyum, “Lo kira gue ironman gitu? Gue juga bisa kecapekan kali” jelasku. “Halah, yaudah lah. Lo istirahat aja disini, kita mau balik kelas dulu”  ucap Dion. Aku belum siap memberi tahu mereka tentang ini, bukannya bermaksud menyembunyikan. Hanya saja aku tidak siap. Biar mereka tau dengan sendiri nya.Dion, Jaka, Juna dan Gilang sudah kembali ke kelas. Aku khawatir dengan Ata, gadis itu pasti sedang lemas karena melihat darah sebanyak ini.

Entah aku pun tidak mengerti mengapa ini terjadi. Jarang sekali aku mimisan hingga darah sebanyak ini. Tiba-tiba petugas uks datang, “Permisi. Lan, lo udah baikan?” ternyata Cika masuk membawa teh hangat. Gue baik-baik aja, Cik. Emang kenapa? Lo takut darah juga?” Cika menggeleng pelan. “Bukan gitu, gue kaget aja liat lo mimisan kaya gini. Ya secara, kapten basket mana pernah m asuk uks sih? Liat tuh baju lo aja penuh tetesan darah. Mirip zombie aja lo” Aku tertawa, Cika memang petugas uks yang ramah. Aku meminum teh hangat yang dia bawa dan kembali melihat seragam ku yang penuh tetesan darah. “Nih, lo ganti baju. Tadi Gilang nitip ini ke gue” Cika memberikan bungkusan seragam, pasti dia ambil dari mobil. “Thanks yo, Cik”. “Sama-sama” jawab Cika sambil berjalan keluar kamar.

Aku mengambil obat disaku ku dan menelannya. Kuharap ini tidak terjadi lagi. Lalu aku mencoba menutup mata dan tertidur sesaat. Aku masih menutup mata, bisa kurasakan ada seseorang disamping ku. Saat aku membuka mata, terlihat Ata yang tertidur di samping ranjang dengan menggenggam tangan kananku. Sepertinya dia menungguku tertidur. Aku bangun dan duduk diranjang, melihat gadis yang ada didepan ku ini. Berfikir jika suatu saat nanti aku meninggalkanya, aku sangat mencintai nya. Sangat. Dia mengeram kecil, Ata bangun. “Hey, udah bangun yah. Kamu gapapa kan, Lan?” aku tersenyum padanya “You see, im fine.

Aku gapapa, kamu gapulang? Udah sore lho” aku mengelus puncak kepalanya. Ata menggeleng, “Aku mau nunggu kamu bangun, didepan juga ada Juna sama yang lain kok. Ohya, aku tadi udah telfon tante” Aku mengangkat alisku, “Bunda? Bunda bilang apa? Dih dibilang aku gapapa juga” “Tante bilang, aku diminta jaga kamu dulu. Tante  ada meeting dadakan tadi, jadi kamu dititipkan ke aku deh, hehe” Bunda pasti khawatir. “Kaya bayi aja deh dititipin segala” Ata cemberut “Yee, nitip nya kan ke aku. Mana boleh ke lainnya” “Iya deh iya, kapan sih aku bisa kalah dari kamu, hm” dia tersenyum kecil, “Yaudah, aku anter kamu pulang, yuk. Masa mau sampe malem disini? Juna udah nunggu dimobil” Aku mengangguk, “Ayo, Ta”   Aku menggenggam tangannya, aku beruntung bisa memilikinya. Sungguh.Aku sampai dirumah, Ata pulang diantar Juna dan yang lain. Sehabis mandi, aku duduk di pinggir ranjang kamarku. Bunda mengetuk pintu, “Masuk, Bunda” Bunda masuk dengan nampan yang penuh makanan. “Kamu tadi mimisan ya? Kok bisa? Ata telfon bunda tau”

“Alan gapapa bunda, kecapekan mungkin. Tapi Alan udah minum obat kok bunda” Bunda memelukku. “Alan baik-baik aja, Bun” aku tahu bunda menangis, tapi ia sembunyikan isakan itu. Aku harus kuat, aku bisa melawannya. Aku bisa sembuh, ini masih awal, tidak begitu parah, “Jaga kesehatan kamu, jangan buat Bunda, Papa dan Natasha sedih ya” aku mengangguk patuh. Tidak akan, pikirku. Sebulan ini aku sudah rutin check-up pada dokter pribadiku. Dokter berkata aku baik-baik saja, asalkan rajin untuk kontrol padanya. Tidak ada gejala yang terlalu menonjol pada diriku. Aku akui memang aku sering mengalami kesakitan pada kepala ku secara tiba-tiba. Tapi setelah meminum obat, kepala ku kembali seperti biasanya. Terkadang saat aku latihan basket disekolah pun, aku merasakan sakit itu. Mau tidak mau aku harus minta istirahat pada pelatihku, hubunganku dengan Ata baik-baik saja, sama seperti sebelumnya.

Hari ini aku kembali check-up di rumah sakit, aku ditemani Bunda saja karena papa pergi dinas luar kota. Setelah menjalani proses check-up aku diminta bunda mengambil resep seperti biasa, aku tau itu hanya alibi Bunda agar dia dan dokter bisa leluasa membicarakan aku. Aku menuruti nya dan keluar dari ruangan. Saat aku kembali menebus obatku, aku bertabrakan dengan gadis di lorong rumah sakit, dia terjatuh. Rambut panjang yang ia gerai menutupi sebagian wajahnya.
“Aduh, kalau jalan liat-liat dong” ucapnya. Aku membantunya berdiri, “Sorr... lho Ata? Ngapain disini?” gadis yang tabrak adalaha Natasha, “Alan? Hati-hati ih jalannya, pasti ngelamun ya?” Aku merangkulnya dan mendudukannya di kursi.

Ada yang sakit? Duh, maaf ya, Ta. Aku galiat jalan tadi, soalnya buru-buru” Ata menatap bungkusan yang ku bawa, “Itu apa, Lan?” dia berusaha menyentuh bungkusan itu, namu cepat-cepat aku masukkan ke kantong jaketku,”Em, ini..ini obat titipan. Ya, obat titipan tante. Yang waktu itu aku pernah ajak kamu kan?” Ata menatap ku lagi, “Oh, iya aku inget. Tante kamu dirawat disini juga” Ata berbalik tanya kepadaku. Aku berfikir, jika aku menjawab iya pasti ia akan membujukku untuk menjenguk, jika aku jawab tidak, alasan apa yang akan kuberikan padanya? “Rawat jalan, Ta. Ohya kamu ngapain disini?” tanyaku. “Oh, aku sama mama habis jenguk tetangga aku yang sakit. Kasihan dia, masih muda udah kena kanker” Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, “Emang dia sakit kanker apa. Ta?” “Itu, dia kena kank...” belum selesai Ata menjawab pertanyaanku, ponsel yng ia genggam berdering.

“Bentar ya, Lan. Dari mama” aku mengangguk padanya.
“Iya, ma. Aku tadi ketemu Alan dijalan, iya iya, ntar aku nyusul. Nanti Ata salamin deh, orangnya ada didepan aku kok. Bye ma.. waalaikumsalam.” Aku mengerutkan dahi memberi isyarat kenapa? Pada Ata, “Tadi mama nitip salam buat kamu, Lan. Ohya, aku udah ditunggu mama di depan. Aku tinggal gapapa ya? Atau mau aku temenin dulu? Nanti aku ijin mama?” aku menggeleng pelan,“Gausah, Ta. Ketemu kamu aja aku udah seneng kok. Ohya salam balik sama mama yaa, ayo aku anter kamu kedepan” Ata mengangguk, aku mengantar gadisku kedepan.Saat aku kembali ke ruanganku, aku memikirkan orang yang baru saja dijenguk Ata. Dia masih muda, dia terkena kanker tapi entah jenis apa.

Ata terlihat sedih melihat orang lain seperti itu, bagaimana jika nanti jika dia melihatku seperti orang yang ia jenguk tadi? Aku menghela nafas panjang. Aku tak mau melihat Ata tersedih, apalagi Bunda, Papa dan teman-temanku.Pagi ini aku bangun telat, semalaman aku tidak bisa tidur karena kepalaku mendadak sakit. Obat sudah kuminum, tapi tetap saja sakit. Bunda memaksa ku untuk libur tapi aku menolaknya. Hari ini ada tanding basket antar kelas, aku sampai lupa bahwa hari ini adalah classmeet di sekolah. Mengingat seminggu yang lalu sekolah mengadakan ujian tengah semester. Kelas ku tanding dengan kelas Ata, sebagai kapten basket aku harus ikut tanding, “Alan, lo udah siap? Kita ditunggu anak-anak dilapangan” Jaka menyusulku, “Siap” aku beranjak dari tempat dudukku, semoga aku baik-baik saja.

Sebelum pertandingan dimulai, aku melihat Ata di balkon kelas, dia tersenyum padaku dan berteriak “Semangat, Alan” Aku membalas senyumnya. Pertandingan dimulai, aku masih baik-baik saja hingga kuarter ke-3, kelas ku unggul dengan point 47-31 dari kelas Ata. Keringat membasahi tubuhku. Sampai memasuki kuarter terakhir, saat aku melakukan three point untuk teamku, mendadak pandanganku menjadi buram, aku mencoba konsentrasi pada ring bola basket di atasku. Tetap saja kabur, pandanganku kembali normal. Saat  aku akan menembakkan bola ke ring basket, aku merasakan ada cairan mengalir dihidung, aku mulai lemas, berusaha mempertahankan posisi ku, namun semua menjadi gelap seketika. Aku bisa merasakan bola yang kupegang menggelundung dari tanganku begitu saja. Semuanya. Gelap.

Diatas sini, aku melihatnya tanding dengan kelasku. Tidak ada yang bisa menandingi kemampuan Alan. Dia berkali-kali mencetak point dengan sempurna, dari kuarter pertama hingga ketiga pun dapat ia lewati dengan mudah, memang kelas ku kalah, tapi apa boleh buat jika lawan tanding adalah Alan dan teman-temannya. Aku berteriak heboh setiap Alan memasukkan bola kedalam ring basket, “Heh, gimana si lo. Kelas kita yang tanding bukannya lo dukung mereka malah neriakin Alan” Kelsey menyenggol lenganku, aku tersenyum kecil padanya “Hehe, biarin sih, Alan kan cowo gue. Ntar deh kalau Jigo sama yang lain cetak point, gue teriakin” aku kembali fokus ke lapangan.
Saat ini, Alan akan melakukan three point untuk teamnya.

Aku bisa melihat dari wajahnya bahwa ia terlihat sudah tidak fokus dengan bolanya. Aku melihat dia sudah berkali-kali mengerjapkan matanya. Aku mulai khawatir, kekhawatiranku semakin membabi buta ketika aku melihat ada cairan merah turun dari hidungnya. Aku terkejut, Alan tidak bisa menahan posisinya lagi. Alan pun jatuh pingsan ditempat. Tepat detik dimana Alan jatuh pingsan, aku berlari sekuat nya menuju lapangan, Jigo, Jaka, Dion dan yang lain berputar mengelilingi Alan. Aku menerobos masuk melihat Alan. Aku berdiri terpaku didepan Alan, Hidungnya dipenuhi dengan darah, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Bahkan jersey yang dipakainya pun tertetes darah. Aku melawan rasa takut ku untuk Alan, tak lama kemudian Gilang datang bersama petugas PMR dan tandu yang siap membopong Alan.

Aku terdiam, kali kedua aku melihat Alan mengalami ini. Dan entah darimana, sirine ambulance tiba tepat dihalaman.Aku dan yang lain termasuk Kelsey menyusul Alan ke rumah sakit, Kelsey membawa mobil Alan. Sisanya ada di mobil Jaka, Gilang dan pelatih basket sekolah menemani Alan di mobil ambulance. Aku hanya bisa mengingat kejadian beberapa menit tadi, aku menahan tangis ku didepan mereka. Aku hanya terdiam di sepanjang perjalanan. Bunda Alan sudah aku hubungi beberapaa menit yang lalu sebelum aku berangkat ke rumah sakit. Sama sepertiku, Bunda sangat terkejut dan langsung pulang ke Jakarta dari Bandung.

Kami berempat tiba dirumah sakit, kami berlari menyusul Alan yang sedang ditidurkan di kasur dorong rumah sakit. Bahkan aku sampai lupa, bahwa aku tidak suka.. bukan, aku sangat tidak suka bau rumah sakit. Yang aku khawatirkan sampai detik ini hanya Alan, hanya Alan. Pasalnya aku tidak pernah mengetahui apa sebab nya Alan menjadi seperti ini. Setiap aku bertanya pada Dion, Jaka, Juna ataupun Gilang mereka hanya menjawab “Alan sedang kelelahan, mungkin”. Memang aku belum sempat bertanya kepada Bunda Alan, situasi saat ini sungguh tidak tepat.Alan dibawa masuk kedalam ruang UGD, bagaimana bisa dibilang hanya kelelahan? Tak lama kemudian Bunda datang dan langsung memelukku, dengan lega aku luapkan tangisanku dipundaknya, entah aku seperti benar-benar sedang memeluk Mama.

Bunda mengelus kepalaku, “Jangan sedih, Alan masih pasti bertahan” Aku samar-samar mendengar apa yang bunda katakan tadi, pandanganku sedikit buram karena air mata memenuhi kelopak mataku saat ini. Dokter keluar dari ruangan UGD, Bunda menegang dan berdiri. “Bisa kita bicara diruang saya, Bu?” Bunda mengangguk dan mereka berdua berjalan menuju ruangan dokter.“Bunda tinggal dulu ya, Ta. Nanti bunda kabari, kamu pulang aja gapapa biar bunda dan yang lain jaga Alan” Bunda mencium puncak kepalaku. Aku hanya bisa mengangguk.“Pulang yuk, Ta. Mata lo udah kaya panda tuh, lagian belum makan kan? Ntar lo sakit juga lagi, yuk” Kelsey mengajak ku pulang, aku menggeleng kecil “Gamau, Kels. Gue mau nunggu Bunda nya Alan balik, trus gue tau gimana keadaan Alan”. Aku benar-benar ingin tau apa yang sebenarnya terjadi pada Alan, aku sedikit merasa ada yang Alan sembunyikan dariku.Di sisi lain,

“Alan sudah betahan selama dua tahun, apakah Alan masih melakukan kegiatan yang terlalu berat bagi tubuhnya? Ini kali ketiga Alan mengalami kondisi kritis, Bu” bunda Alan duduk di hadapan meja bertuliskan “Dr.Andre Wiryawan” itu. “Anak anda sudah berjuang selama dua tahun, Ini kali ke empat dia dibawa ke rumah sakit dengan kondisi yang sama, apakah Alan telat meminum obat nya?” bunda mengangkat kepala nya, “Tidak, dok. Alan meminum nya secara rutin. Apa Alan bisa tertolong lagi, dok?” Dokter Andre-yang sudah merawat Alan empat tahun terakhir- menghela nafasnya, “Semoga, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk Alan. Alan sangat kuat, dia anak yang baik, semoga Tuhan memberinya jalan, Bu” Bunda Alan tersenyum kecil, “Semoga”

Sudah dua hari ini, Ata menemani Alan yang masih terbaring di rumah sakit. Sepulang sekolah, bergantian dengan teman Alan menjaga Alan. Kelsey pun ikut menemani Alan, “Kels, lo bingung ga sih?” Kelsey yang sedang makan di kantin rumah sakit berhenti menyendok makanan nya, “Ha? Bingung apaan?” Ata melihat ke arah taman, dimana ada gadis yang seumuran dengan nya sedang menemani laki-laki yang duduk di kursi roda. “Kenapa Alan pingsan nya lama banget, ya? Dia pingsan apa koma si?” Kelsey benar-benar menghentikan makannya, “Iya juga ya, kenapa lo ga tanya sama nyokap nya Alan? Pasti dia tau apa yang terjadi sama Alan, lo kan pacar nya Alan, pasti dikasih tau” Ata kembali mengamati dua orang yang sedang ditaman itu.

Ata dan Kelsey selesai makan dan akan kembali ke kamar Alan, Ata kembali sendirian karena Kelsey pergi ke toilet karena ada sesuatu. Tepat saat Ata tiba beberapa meter jarak kamar Alan, Ata melihat bunda menangis di kursi, Ata berlari dan memeluk bunda, “Bunda.. bunda ada apa?” kamar Alan kosong. Ata semakin dibuat bingung. “Bunda, Alan kemna? Dibawa kemana? Kok kosong?” Ata bertanya pada Bunda, bunda menangis dan menggelengkan kepalanya. Bunda memeluk Ata, “Alan kritis, Alan sedang di operasi, Alan.. Alan..” isakan tangis bunda membuat Ata ikut meneteskan air matanya “Alan kenapa bun, Alan sakit apa? Kenapa bun?” Ata berusaha menenangkan bunda Alan.“Nanti bunda kasih tau yang sebenarnya, Alan ada di ruang Operasi sekarang” Detik itu, Ata berlari ke ruang operasi. Ata melihat Alan dari balik kaca, banyak peralatan medis yang tertempel di tubuh Alan, Ata setengah mati tak tahu apa yang terjadi pada Alan, sederet pertanyaan muncul dikepala Ata,

Alan kenapa, Alan sakit apa, Mengapa Alan sampai dioperasi hingga membutuhkan alat medis sebanyak itu, Ata meneteskan air matanya begitu saja. Ia merasa telah dibohongi kekasih nya sendiri, Alan. Teman-teman Alan tiba setelah Ata beritahu melalui ponsel nya. “Ta, Alan kenapa?” Kelsey memeluk Ata, “Alan baik-baik aja, Ta” Gilang angkat bicara.“Baik-baik aja? Lo selalu bilang dia bakal baik-baik aja? Pingsan mendadak? Pingsan dua hari? Sampe akhirnya di operasi kaya gini? Baik-baik aja??!!” Ata tidak bisa menahan emosinya, ia hanya bisa menahan rasa ingin tahu nya itu dengan tangisan bercampur amarah. “Gue juga gatau kenapa Alan tiba-tiba kaya gini, Ta. Alan ga ada cerita apapun sama kita,lo kira lo aja yang pingin tau kenapa Alan kaya gini? Ga, Ta. Kita juga bingung” Suara Gilang meninggi.

Dion melerai mereka karena Dion yang paling bijak diantara mereka. “Kalo kalian berantem malah buat Alan sedih tau, lebih baik kita tanya sama Nyokap Alan aja” Kelsey memeluk Ata erat memberinya semangat. Gilang, Jaka, Juna dan Dion duduk di kursi untuk menunggu keadaan Alan. Bunda datang dengan beberapa suster yang menangani Alan, Ata berdiri,” Bunda, Alan kenapa? Kita udah cukup bingung dengan semua ini bun, Alan yang tiba-tiba mimisan, Pingsan sampe dua hari dan sekarang masuk ruang operasi?” Ata terus bertanya kepada bunda Alan, “Maafkan bunda, Ta. Bunda belum siap menceritakan semuanya. Tapi bunda gabisa lihat kamu sedih, apalagi Alan. Bunda sudah anggap kamu anak sendiri, Ta. Kamu jagain Alan, kamu buat Alan tertawa lagi, bunda gamau kamu sedih”

Kelsey dan yang lainnya saling pandang tidak mengerti apa maksud bunda Alan. Kecuali Juna. Juna tahu dan paham dengan keadaan ini. Juna melihat Bunda Alan sendu, Ata mengangkat kedua alisnya heran “Apa maksud bun...” “Tiitttttt....” bunyi alat pendeteksi jantung detik itu juga terdengar diruang operasi. Semua menegang, Bunda menangis begitu derasnya air mata, Juna menunduk dan mengepalkan kedua tangannya frustasi, semua terkejut dengan bunyi alat itu. Ata. Ata tak menduga bunyi itu akan muncul setelah 4 jam berlalu, bunyi itu muncul setelah Ata duduk diluar menahan rasa takut, sedih, marah, kecewa dengan semua ini. Ata menangis, menangis dalam diam..

Dokter keluar dari ruang operasinya, “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan memberikan Alan jalan terbaik untuknya. Kami turut berduka, Bu” Bunda sudah tahu apa yang dikatakan dokter begitu bunyi alat terdengar 10 menit yang lalu. Dibelakangnya, Ata berdiri kaku, Kelsey memeluk sahabatnya itu.“Alan..” suara nya lirih, peluru seakan baru saja menembus masuk kedalam dadanya.“Lan, lo gapapa kan?” Alan sedang terbaring lemah di kasur rumah sakit dua tahun yang lalu. Ia baru saja menjalani kemoterapi nya yang ketiga. “See, gue selamat, Jun. Thanks atas do’a lo selama ini” Bunda tersenyum di samping Alan, melihat putra nya yang baru saja melewati masa kritisnya, selamat. “Bunda keluar dulu ya, mau ambil obat kamu. Titip Alan ya Juna. Kalau ada apa-apa pencet tombol itu” Kata bunda sambil menunjuk tombol di sisi atas kanan, “Oke bun”

“Lan, apa lo gamau kasih tau anak-anak tentang ini?” Alan hanya tersenyum kecut, “Kayanya jangan dulu, gue gamau liat mereka sedih apalagi.. Ata. Biar lo aja yang tahu keadaan gue. Gue gamau buat mereka kecewa di akhir, Jun” ucap Alan. “gue juga gabisa maksa lo, Lan. Tapi..” Juna tahu kalau teman-teman nya akan kecewa pada Alan karena menyembunyikan hal sebesar ini, apalagi mereka sudah berteman hampir 3 tahun lamanya, belum lagi hubungan Alan dan Ata sudah menginjak satu setengah tahun. “Biar mereka tahu dengan sendirinya, Jun. Gue udah bahagia punya lo dan mereka. Gue gamau buat mereka sedih dan kasihan sama gue karena gue lemah” Juna hanya bisa tersenyum. Juna berharap Alan akan sembuh sepenuhnya dan tidak akan tertidur lama lagi seperti ini.

Aku berhasil dari operasi ketiga, jujur aku sangat gugup sekaligus bersyukur. Tuhan memberiku kesempatan kali ini, aku masih di izinkan untuk bernafas lagi. Melihat bunda, melihat teman-temanku, melihat Ata, dan melihat dunia. Sempat aku berfikir bagaimana jika aku gagal, bagaimana jika aku tidak diizinkan Tuhan untuk tetap disini. Putus asa, sering kali rasa itu datang bertubi-tubi memenuhi otakku. Menjalani hidup dengan keadaan ku yang seperti ini, menyembunyikan nya dari semua orang. Tapi semua itu seakan sirna ketika melihat bunda bersedih, Bunda yang selama ini menjagaku, merawatku, menemani sampai kemo yang ketiga. Semua terbayar dengan melihat senyum Bunda. Terima Kasih, Tuhan. Aku menutup buku tempat aku bercerita. Aku sangat bersyukur bisa kembali sehat setelah perjalanan panjang dan melelahkan itu. Alan kembali.

Dibawah langit yang sendu, awan menyelimuti langit hari itu, segunduk tanah dengan batu nisan yang tertancap bertuliskan nama seseorang yang baru saja pergi meninggalkan berjuta kenangan dan memori. Seorang gadis masih terduduk dihadapannya. Gadis yang enggan untuk beranjak pergi dari tempat itu. Gadis yang masih mengingat bagaimana ia melewati hari-harinya bersama seseorang yang sudah tertidur damai di tempat itu. Gadis yang masih mengingat bagaimana senyum yang diberikan oleh seseorang itu. Gadis itu masih mengingatnya. Gadis itu masih memandang nisan yang bertuliskan Alana Gardion Dirgara.

Kekasihnya yang telah pergi meninggalkan nya dengan berjuta kisah dan kenangan. “Ata, ayo pulang. Yang lain udah pulang daritadi, Ta. Balik yuk, nanti lo sakit dan Alan gabakal suka kalo tau lo sakit, kan?” Teman gadis itu membujuknya pulang. Teman-teman yang lain juga masih menemani gadis itu. Gadis itu menatap teman nya, dan kembali melihat ke arah batu nisan. Gadis itu mengangakat pandangan nya ke atas langit, hembusan angin terasa lembut menyapu pipinya yang sudah terbasahi air mata. Ata. Ata merasakan seperti angin itu membelai pipinya. Seperti dulu saat Alan mengelus pipinya.

 “Ata, ini ada titipan dari Alan. Bunda minta maaf ya. Terima kasih, Ata” Bunda menyerahkan satu kotak ukuran sedang padaku, aku menerima nya dan berterima kasih pada Bunda. Aku masuk kedalam, Bunda berbincang dengan Mama diruang tengah. Aku naik ke lantai dua untuk beristirahat dikamar, Kelsey menginap untuk menemaniku.Aku membuka kotak itu, didalamnya ada sekumpulan foto Alan, foto kami bertujuh, dan terakhir, foto ku bersama Alan. Aku tersenyum melihatnya, dibawah foto tersebut ada sebuah buku, aku membacanya dari halaman pertama hingga akhir, buku itu berisi tulisan tangan Alan tentang hari-hari yang ia lewati. Bunda sudah memberitahuku kalau Alan menderita kanker darah sejak dua tahun yang lalu. Dan baru kusadari betapa bodohnya aku yang tidak mengetahui hal itu dan membairkan Alan merasakannya sendiri.Diselip kertas terakhir Alan menyimpan sebuah surat, aku membuka nya..

Hai, Natasha.Ini Alan, kalau Ata baca ini berarti Alan minta maaf ya.. Alan udah gabisa jagain Ata lagi disekolah.Alan gabisa nemenin Ata jalan-jalan atau sekedar cari coklat kesukaan Ata.Alan sayang sama Ata. Alan bersyukur bisa punya Bunda, Ata dan temen yang lain.Ata boleh marah sama Alan soal penyakit Alan.Alan minta maaf gabisa cerita sama Ata karna Alan gamau buat Ata sedih.Alan tau kalau ini salah, tapi Alan gabisa liat Ata sedih karna tau Alan lemah.Kalau Alan pergi,Alan udah titip sama Bunda, Kelsey, Dion, Juna, Jaka sama Gilang buat jagain Ata. Alan sayang banget sama Ata. Makasih udah mau jadi pacar terbaik yang Alan punya.

Thank you for everything that you have done to me.I couldn’t imagine how hard i spend my day without you.Thank you for being my precious thing in my lifeForgive me for all the pain i’ve made for you,forgive me for not being perfect boyfriend as you wish.I wish i can always by your side till the end of my day. Make you laugh in every second.I love you, from the first day i know you and till now.Forever will be, forever be ours.Love will remember you.

Jangan sedih mikirin Alan ya, Ata juga harus bisa bahagia tanpa Alan.Alan bakal jagain Ata dari atas sini, kok.Tetesan air mataku terjatuh diatas kertas ini, Alan terlalu cepat meninggalkanku. Di usiaku saat ini aku sudah kehilangan orang yang sangat kusayang. Namun aku bisa apa? Mungkin ini semua sudah takdir Tuhan. Bagaimana pun juga Tuhan memiliki rencana baik untuk manusia. Aku bahagia sempat memiliki Alan dalam hidupku, walaupun hanya sementara tapi aku merasa Alan tetap disini.Menemaniku meski sudah tidak berupa. Terima kasih untuk semuanya, Alan.