Selasa, 03 Desember 2019

aku untuk mencintai hujan


Tuhan menciptakan aku untuk mencintai hujan...”Aku masih berada dalam kebebasan dalam diriku. Benar—aku tidak terikat oleh apapun. Bebas melakukan apa yang aku inginkan. Dan yang  penting semua tindakan aku cap menjadi sebuah kebenaran. Aku tidak terlibat konformitas dengan lingkungan apapun. Semua berjalan begitu menyenangkan. Harusnya Tuhan sudah menurunkan hujan hari ini, tapi masih saja mendung sejak pagi. Dan sore ini aku putuskan untuk bersepeda, mengeluarkan sebagian racun dari tubuhku.

Berkeliling kota melihat setiap pojok keramaian dan menemukan tempat romantis untuk mengumpat. Kemudian memberi uang lebih untuk pedagang asongan dan dia memberikan senyuman lebih juga. Hari sudah gelap, aku berhenti dan kusulut rokok—bebas kukeluar - masukan racun dalam tubuh. Menertawakan jalan yang dipenuhi budak kehidupan. Manusia yang selalu merasa kurang dalam hidupnya sampai mereka lupa bahwa kehidupan adalah milik mereka—bukan milik anak dan istri bahkan bukan milik jalanan yang selalu menghitam dengan garis putih ditengah. Selesai sebatang rokok aku bersiap untuk pulang karena malam sudah larut. Namun hujan turun saat kayuhan baru satu putaran roda.

Dan kulihat di depan ada penjual jas hujan. Kuluncurkan segera kesana. Saat kulihat harganya dan menghitung uang ku-urungkan niatku. Dan hanya bisa berteduh di emperan penjual jas hujan.“Mau beli mas?”“Tidak pak, uangku tidak cukup”“Namanya juga musim hujan mas. Harusnya sudah sedia jas hujan sebelum berangkat. Dari tadi pagi juga sudah mendung”Bangsat, kenapa bapak itu yang mengaturku. Dengan sedikit mengumpat aku terjang hujan itu. Aku tidak mau dekat orang yang sering mengatur kehidupan. Karena setiap manusia dilahirkan dalam kebebasan. Seperti hujan—mereka bebas menjatuhkan tubuhnya pada siapun, tanpa diatur. Seharusnya dia lebih mengerti dari pada aku.

Sesampainya di kontrakan aku mandi dan menganti bajuku. Lapar mendera dan kuputuskan untuk keluar mencari makan mumpung hujan hanya tinggal rintikan. Sampai di warung makan aku bertemu dengan kakak tingkat kampus. Namanya Maulida, tidak cantik namun manis. Aku menyapanya dan kami makan satu meja sambil berbincang masalah perkuliahan. Cukup dingin aku menanggapi, sampai kopiku juga mendingin. Dan saat aku bergegas untuk pulang dia menahan.“Kenapa kamu tadi tidak pakai jas hujan?”“Kamu lihat? Dimana?” aku cukup tertarik dengan obrolan yang dia mulai.“Tadi di depan kampus, kenapa?”“Tidak ada alasan—hanya ingin merasakan hujan”“Gitu amat jawabnya. Coba kalau kamu tanya orang dan ditanggapi seperti tadi pasti gak enak kan.Jutek amat jadi orang”

Ada masalah. Coba jawab pertanyaanku. Kenapa kamu harus hidup?”“Karena Tuhan menciptakan aku untuk mencintai hujan”Aku terdiam cukup lama. Baru kali ini aku bicara dengan orang yang mengerti tujuan hidupnya sendiri. Dan bisa menjawab dengan begitu tegas. Ada sedikit rasa yang aneh dalam hatiku. Lalu lamunanku terbuyar saat dia meniup mataku.“Aku suka matamu”“Banyak yang bilang begitu”“Aku suka kamu, pacaran yuk?”Cukup terkejut aku dibuatnya. Seberani itu seorang wanita yang belum cukup jauh mengenalku. “Kenapa aku harus mau?”“Gak harus mau kok, aku cuma mau taruhan. Kalau besok pagi pas kamu bangun dan hujan turun kamu sah menjadi pacarku”“Jangan bercanda” 

Lalu aku berdiri dari meja, membayar semua makanan dan pergi pulang. Tak mau memikirkan apa 
yang dia ungkapkan tadi. Toh langit malam ini cerah tidak mungkin hujan akan turun. Namun dalam hati, aku ingin Tuhan menurunkan hujan malam ini dan cerah esok pagi.Aku terbangun lalu menuju dapur. Sepertinya nikmat minum kopi pagi ini. Ditemani hujan yang mesra. Tidak seperti biasa, kopiku terasa bahagia. Selagi aku minum kopi terdengar ponselku berbunyi. Ada nomor baru yang menelfon. Aku angkat dan sepertinya aku kenal suara diseberang.“Halo, pacar baruku. Pagi ini hujan kan? Berarti sah kamu jadi pacarku....”Suara diseberang menerocos begitu saja—kuletakan ponsel diatas meja lalu kusulut rokok. Dan suara Maulida tidak ada berhentinya.

Mengomentari semua kehidupanku. “Aku tidak sepakat dengan omonganmu semalam”“Itu tidak penting, Tuhan menyertai dengan datangnya hujan. Sejam lagi aku ke kontrakanmu”Mungkin dia seorang polisi atau agen rahasia sampai dia bisa tahu nomor dan kontrakanku. Luar biasa sekali wanita itu. Tapi aku tak suka gaya bicaranya. Terlalu cerewet.Dan sejam kemudian dia datang dengan ditemani derasnya hujan. Mungkin hujan melahirkan seorang anak—yaitu Maulida. Dan menurunkan sifat berisik padanya. Aku buka pintu gerbang lalu dia masuk begitu saja. Membawa sekotak nasi goreng masakannya. “Ini makan dulu, kamu pasti belum sarapan”
“Iya”“Enak kan, aku yang masak”

Aku tanggapi omongan cerewetnya sedingin hujan. Sebenarnya aku malas untuk berbicara dipagi hari—bukan kebiasaanku. Lalu dia bergegas ingin pulang. Ada kuliah katanya. Namun aku tahan. 
“Kenapa kamu pakai jas hujan?”“Biar gak basah”“Katamu kamu cinta hujan. Aku juga bisa membuatmu basah, sakit bahkan menangis. Dan ingat aku bukan pacarmu. Dan aku juga bukan hujan.”“Kamu jahat”“Memang, banyak yang bilang seperti itu”Lalu dia berlalu dengan tangis yang terselamatkan derasnya hujan. Sedikit aku kasihan tapi aku biarkan. Aku hanya ingin jujur dengan perasaan—tidak ada yang mengatur. Seperti hujan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar