Selasa, 03 Desember 2019

Masa-masa di mana euforia


Serasa masih kudengar dengan jelas lagu Ibu Pertiwi kami nyanyikan. Masih ku ingat peluh di wajah itu.  Peluh kawan - kawanku juga peluhku sendiri. Sorak sorai itu. Umpatan - umpatan itu. Yah serasa baru kemarin aku mendengarnya. Kenangan itu memang tidak bisa hilang begitu saja dari ingatanku. Bahkan bagi semua orang yg mengalami masa itu. Masa-masa di mana euforia perubahan begitu terasa di setiap jiwa kami. Kenangan yg meninggalkan luka fisik bagiku juga luka bagi negeri yang katanya cinta damai ini.

Hari ini seperti biasa aku mengunjungi tempat itu. Tempat menimba ilmu di masa peralihan orde. Yah hari itu adalah kesekian kalinya kami mendemo sang penguasa negeri. Penguasa yang telah bercokol puluhan tahun di negeri tercinta ini. Penguasa yang telah melahirkan kaum borjuis baru. Penguasa yang telah membungkam suara - suara kritis anak bangsa. Penguasa yang telah menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya."Ayo son, temen-temen sudah menunggu di gerbang utara. Sebentar lagi akan bergerak", suara Juned kawanku seketika membuyarkan lamunanku. Segera kurapikan diktat kuliah dan bergabung dengan mereka yang segera akan berdemo ke gedung dewan. Hari ini hampir 3 bulan aku dan kawan-kawan mendemo agar sang penguasa negeri segera lengser.

Hari menjelang siang ketika kami mulai bergerak keluar kampus menuju gedung wakil rakyat untuk menyuarakan perubahan. "Kawan-kawan tetap di dalam barisan. Jangan terpengaruh provokasi" ujar sang korlap memberi aba-aba. Memang dalam setiap aksi damai, antek-antek sang penguasa hampir pasti ada untuk memonitor gerak gerik mahasiswa dari jarak dekat. Kami pun bergerak perlahan dengan satu tujuan, gedung dewan. Tepat di depan lapangan Hoky Darmawangsa Universitas Airlangga. Seketika dari arah depan sekonyong konyong datang serombongan truk dengan membawa berpuluh puluh tentara di dalamnya hendak menubruk rombongan kami.

Subhanallah", ucapku seketika begitu melihat manusia-manusia berpakaian doreng itu mulai turun dan memukuli, menendang bahkan menusuk nusuk kawan-kawanku dengan bayonet yang mereka bawa. "Awas son belakangmu, ku dengar kawan memperigatiku". Sempat kurasakan nyeri di perut dan anyir darah. " Ya Allah aku di tikam oleh tentara itu batinku", sebelum kurasa dunia gelap gulita di sekitarku.Hari ini aku kembali ke tempat itu. Tempat dimana aku tertikam oleh tentara suruhan sang penguasa. Ya hari ini aku kembali ke tempat itu sekedar mengingat betapa susahnya menjatuhkan sang penguasa negeri.

Sejenak kuraba luka ini. Luka yang akan selalu membekas sepanjang hidupku. Luka yang selalu akan kuingat seumur hidupku. Luka ini sudah 20 tahun berlalu. Reformasi pun sudah lama dilupakan orang. Tapi bagiku kenangan itu akan selalu ada untukku.Allah memang belum memangilku saat itu. Tapi bagaimana dengan kawan-kawan ku yang lain. Yang hingga hari ini tak di ketahui di mana keberadaannya. Kawan Bimo, Kawan Petrus, Kawan Widji Tukul, Mas Udin, Mbak Marsinah dan masih banyak kawan-kawan lainnya

"Papa.....ayo pa, udah malam ayo pulang", suara jagoan kecilku seketika membuyarkan lamunanku belasan tahun silam di tempat ini. Tempat di mana kami bertarung nyawa menjatuhkan sang penguasa. Dari dalam mobil tua ku, lamat2 ku dengar lagu dari salah satu station radio ;"Kulihat Ibu PertiwiSedang bersusah hatiAir matamu berlinangMas intanmu terkenangHutan gunung sawah lautanSimpanan kekayaanKini ibu sedang susahMerintih dan berdoa"

Dalam mobil ku berpikir, kami memang berhasil menjatuhkan penguasa saat itu. Tapi kurasa Ibu Pertiwi akan tetap menangis dan bersedih melihat ulah dan tingkah penguasa saat ini tidak berubah bahkan lebih bobrok dari yang lalu. Kami berhasil menjatuhkan penguasa saat itu, tapi kami gagal meruntuhkan sistem yang di warisinya.Kupersembahan catatan kecil ini buat semua kawan-kawanku, korban Rezim Orde Baru. Semoga kalian tenang di alam sana. Semoga Allah menempatkan kalian di sisi terbaik Nya.  Percayalah kalian semua akan tetap ada di hati kami. Hati angkatan 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar