Selasa, 03 Desember 2019

Dongeng tentang Tuan Gembala


Dongeng tentang Tuan Gembala Pernahkah kau bertemu dengan orang dengan deskripsi berikut? Kulitnyakecoklatan, tubuh kering kerontang dengan baju putih usang. Dia mempunyai tahilalat disudut pipi kirinya. Hidungnya agak mancung, bulu matanya lentik, daguyaancip dan warna matanya abu-abu gelap. Jika ia melihatmu lewat, ia biasanya akanberteriak “Hai Fulan!!! Mampirlah disini sekejap. Baringkanlah lututmu yang kakuitu. Kemarilah! Aku akan menyanyikan sebait lagu untukmu”. Jika kau bertemudengannya, bilanglah aku menitipkan salam. Karenanya, aku tersadar akankebodohanku selama ini.

Karenanya, aku terbangun dari imajinasiku dan menatap realita yang ada. Karenanya, aku tidak kenal takut. Aku akan terus berjuang demihidupku.Sebutlah ia sang Gembala, dini hari sekali ia menuntun domba-domba kurang ajaritu mengisi perut.Lihat? Mereka jauh lebih gemuk daripada dirinya, ku yakin suatusaat jika rumput telah habis dirinyalah yang akan tertelan oleh domba-dombakurang ajar itu. Selepas matahari mulai muncul kepermukaan, sang Gembala sudahnangkring di bawah pohon beringin tua. Memainkan suling yang ia anggap sebagaisuaranya, tatapannya menyusuri satu per-seratus domba yang memangkas habisrumput lembah di balik bukit itu.

Disaat matahari sudah berteriak lelah dan mengendap-ngendap meninggalkan langit, barulah ia menguap dan menggiringdombanya pulang. Melelahkan. Sungguh! Tak sudi aku jika harus bekerja sepertidirinya ,Disuatu pagi aku melihat dirinya lagi, dengan baju dan penampilan yangsama. Ia menari bersama domba-dombanya menyusuri bukit menuju lembah yang iakata surga para domba. Aku masih menenteng kelapa sawit yang baru ku panjat dania berteriak kearahku “Hai Fulan!!! Mampirlah disini sekejap. Baringkanlah lututmu yang kaku itu. Kemarilah! Aku akan menyanyikan sebait lagu untukmu”. Akumemasukkan kelapa sawitku dalam karung dan berteriak balik “Aku sedangbekerja!” lalu menenteng karung hasil unduhanku ke pasar kecamatan.

“Dasarnorang kesepian” rutukku dalam hati.Disuatu pagi yang lain, aku melihatnya tertawa dengan lepasnya. Diiringidengan suara domba yang mengembik disekelilingnya. Penasaran, aku mengintipdiantara semak-semak. Tak sadar, ia melihatku dan menghampiriku “Hai Fulan!!!Mampirlah disini sekejap. Baringkanlah lututmu yang kaku itu dan lihatlah ini. Anakkedua dari dombaku telah lahir, keluargaku sekarang genap sudah 102.” Katanyasambil memperlihatkan gigi kuningnya yang gingsul. Ohh, dari sini aku bisa menciumaroma tubuhnya yang busuk.“Aku sedang bekerja” kataku sambil berlalu meninggalkannya. Ia mengejarku danbertanya

“Buat apa?”“Ya makan” jawabku gemas“Alam baik, tanpa bekerja kau bisa makan”“Tapi tak bisa belanja”“Belanja apa?”“Pakaian”“Tadi katanya buat makan”“…”Sambil terus berjalan aku merutuk jengkel dalam hati. Meninggalkannya yangsepertinya sudah lelah mengikutiku. Kembali kepada domba-domba kusut yang adadi lembah itu. Bisa ku bayangkan ia cengengesan sambil menggendong anak dombaitu. Seratus dua katanya? Dasar juling!Disuatu pagi yang lain lagi, aku berencana untuk memetik kopi liar yangtumbuh di bukit. Disaat yang sama aku melihat tuan gembala sedang bersiap diriuntuk memulai harinya. Tuan gembala mengambil ranting yang bersandar di depanrumahnya, dan ia mulai menari. Ha?

Dia menari. Aku tak pernah melihat gaya tarianseperti itu. Ia menari dengan memainkan tongkat rantingnya, menempatkannyasebagai penyangga lalu mengelilinginya. Lalu ia seakan memikulnya, sambil bergayaseperti orang barjalan kaki. Hanya saja dia tetap di tempat. Hey! Dia sedang apa?Aneh sekali. Hidupnya sangat aneh, kemarin dia menganggap domba-domba itukeluarganya. Sekarang, ia menganggap ranting pohon sebagai kekasihnya. Apakah iabodoh? Ah sudahlah. Baiknya aku meneruskan perjalananku menuju bukit, mencaribiji kopi agar dapat uang.Aku berangkat pagi-pagi sekali, sebelum langit mendapatkan pantulan sinardari matahari, aku sudah berlari kencang menuju bukit.

Sambil membawa lenteradan umbi kukus yang baru saja ku angkat dari tungku apiku. Aku membawa karung,berharap kopi-kopi di hutan sedang berbuah banyak. Karena kemarin aku lihatbanyak sisa pohon kopi yang belum sempat kupetik, jadi sekarang aku harus meraupsemuanya. Ditengah kesibukanku memetik kopi, aku mendengar suara mengembikseekor domba. Pasti si tuan gembala tengah sedang menggiring mereka ke rumputilalang lagi, pikirku. Aku heran, rerumputan di lembah tak pernah habis dimakanseratus satu domba itu, padahal, mereka disana setiap hari! Andaikan rumput bisadijual, pastilah kaya sekarang aku. Tak perlulah aku memilih satu persatu biji kopiseperti sekarang. Namun, sebentar.

Rumput memang tidak bisa dijual, namun seekor domba, mahal sekali harganya di pasar kecamatan. Aku merenung sejenak,namun suara teriakan si tuan gembala bodoh itu membuyarkan pikiranku. “HaiFulan!!! Baringkanlah lututmu yang kaku itu. Jangan kau melamun saja seorang diridi tengah hutan seperti ini. Bahaya!” Teriaknya sambil memainkan suling dengantangannya.“Siapa yang melamun?” Sanggahku sambil melanjutkan kegiatanku memetik kopi“Kau mau tau sebuah syair?” ia bertanya kepadaku sambil sesekali menatapsekawanan domba yang pergi ke lembah mendahului dirinya.“Tidak perlu” jawabku singkat.“Baiklah, jika kau penasaran, mampirlah ke bawah pohon itu sekejap! Aku akanmenyanyikan sebuah syair untukmu” dan ia berlalu mengejar domba-domba itu kelembah.

Malam hari, aku terus berfikir. Dengan menjual seekor domba saja, akusudah bisa membeli lima pakaian dan beras untuk makan. Bagaimana jika akumenjual sepuluh? Dua puluh? Sungguh, aku pasti bisa membeli banyak pakaianuntuk pergi ke pasarkecamatan. Aku juga bisa membeli beras sehingga tak usah lagiaku makan umbi yang tak enak itu. Aku juga bisa membeli sepatu, gayaku sudahseperti Belanda,hanya tinggal kulitku saja yang butuh disabun. Aku berniat, besokaku akan meminta tuan gembala menjual dombanya, lalu memberi uang hasilnyaseparuh padaku. Pasti ia senang sekali dengan rencanaku ini.Pagi hari, aku mengetuk pintu dan mengucap salam.

Ranting pohon ini awet sekalibersandar di dahan pintu tuan gembala. Pintu dibuka, tuan gembala tertawa riangsambil berkata “Hey Fulan! Kau mau mendengar syairku?” ia menepuk pundakkulalu masuk kembali kerumahnya untuk mengambil suling. “Kau tak ke Bukit hari ini?” Katanya sambil membawa gembala-gembalanya keluarrumah. Sebenarnya, tuan gembala tidak mempunyai rumah. Ini hanyalah pondoktempat para domba-domba itu bermalam. Tuan gembala tidur di ruangan tumpukanjerami disamping pondok, cukuplah untuk membuatnya tak basah saat hujan.“Tidak” Tuan gembala tidak bertanya lebih lanjut, ia menggiring dombanya menujulembah. Ia memainkan sulingnya selama perjalanan dan aku-pun mengikutinya daribelakang. “Hei Fulan, kau mau mampir?” tanyanya. Aku mengangguk.

Ia tertawalalu duduk dibawah pohon tempat biasa ia singgah. “Mari sini, aku akanmenyanyikan sebuah lagu untukmu”. Aku duduk disampingnya, ia sangat bau sekali.Dari dekat, sangat terlihat badannya yang penuh kotoran dan kakinya yangberlumpur. “Kau tidak perlu menyanyikan apapun” Kataku sambil menatap tajamkearahnya. Ia melihatku sambil cengengesan dan berkata “Hey Fulan, kau tidak usahmalu-malu. Katakan apa yang kau inginkan, kalau boleh, bisa jadi aku bisamembantu” Tuan gembala bersidekap dengan tenangnya lalu meniup sulingnyaselaras dengan hembusan angin.“Kau tidak berniat menjual dombamu?” tanyaku. Ia meneruskan melodi sulingnyasebentar, lalu menjawab pertanyaanku “Tentu saja tidak” dan ia-pun kembalimemainkan serulingnya.

“Kenapa?” Tanyaku lagi.“Keluarga”“Maksudmu?” Ia menghentikan permainan sulingnya dan kini fokus untukmenjawab pertanyaanku.“Pernahkah kau lihat seseorang menjual keluarga?” tanyanya. Bukan jawaban,ternyata. Pertanyaanku menggantung. Ia lalu melanjutkan perkataannya. “Jika kau mau, aku bisa memberimu salah satu keluargaku. Rawatlah ia dengan hatimu. Kauakan dapat merasakannya” katanya lagi.Lalu ia mendekati salah satu domba kecil, mengelus kepalanya dan seakanberbincang dengannya. Lalu ia menunjukku, dan menggiring domba itu untukmenghampiriku. Ia berkata lagi “Bawalah dia, orang tuanya telah meninggalsemalam.

Dia sebatangkara. Aku telah memberitahunya bahwa kau bisa menjadipengganti keluarganya selain aku. Kini ia milikmu” Aku hampir menjerit girang, inginku berlari membawanya langsung ke pasar kecamatan. Namun, melihat domba iniringkih sekali, pastilah harganya tak jauh beda dengan kopi yang kujual kemarin.Dasar penggembala pelit, ngasih kok yang kecil. “Iya, terimakasih” kataku. Setelahitu, aku langsung menuntunnya pulang tanpa tau apa yang harus ku lakukan padadomba ini selanjutnya.Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh suara domba yang ku ikat di tiang depanrumahku. Aku keluar untuk melihatnya, mungkin saja dia sudah cukup besar untukdijual di pasar Kecamatan.

Domba itu menatapku, berputar putar sambil berusahamelepaskan ikatan talinya di tiang. “Kenapa?” tanyaku tanpa sadar. Tiba-tiba akuberbicara dengan hewan, ada apa dengan diriku? Aku langsung masuk ke dalamrumah. Mengurung diriku seharian dan tidak pergi kemanapun. Pagi berikutnya, akuterbangun lagi oleh teriakan domba kecil itu. Aku keluar rumah, berfikir mungkinkalau sekarang ia sudah cukup besar untuk dijual. Ternyata tidak, bahkan ia lebihlemas daripada sebelumnya. Tak sabar, aku membawanya ke lembah. Berniatmengembalikannya kepada tuan gembala. Saat menuruni bukit, domba itu lepasdari peganganku dan berlari kearah sekawanan domba lain yang sedang berkumpuldi lembah.

Aku meninggalkan domba itu, pergi menghampiri tuan gembala yangsedang berbaring menatap ranting pohon beringin. Ia menyadari kehadiranku disampingnya dan berkata “Hai Fulan, kalau boleh, aku ingin bilang kepada hujan”ucapnya tiba-tiba“Bilang apa?”“Kalau jatuh jangan ramai-ramai”“Ha?” Aku tertegun.“Kasian domba-dombaku terbirit-birit dibuatnya”“Ha..ha..haa, kau sangat dungu” tawaku meledak. Bagaimana bisa hujan jatuhsendiri sendiri? Itu bukan hujan namanya. Tuan Gembala menatapku, tersenyum.“Aku baru kali ini melihatmu tertawa” katanya lagi. Mungkin saat ini wajahku tengahmemerah karenanya. Aku mengalihkan pandanganku melihat domba kecil yang tadikubawa dari rumah.

“Domba itu kecil sekali, lemah” kataku berniat agar ia menukarnya dengan dombayang lebih besar“Iya, namun setidaknya ia tau apa yang ia inginkan” Aku berfikir sejenak, akusungguh tidak dapat memahami perkataan penggembala ini. Ia sangat aneh, iaberkata seolah olah ia adalah domba itu.“Kamu tau Fulan, aku pernah bermimpi menjadi penyair” kata tuan Gembala lagi.Aku menatapnya dengan heran. Itu hal terbodoh yang pernah aku dengar dariseseorang. Semua orang pasti bisa membuat syair. Aku-pun bisa, hanya sekedarmerangkai kata bodoh dan mengucapkannya lantang, hanya saja, aku tidak punyawaktu untuk itu. Itu tidak menghasilkan uang, tidak bisa membuatku sepertiBelanda.“Kamu mau dengar syairku?” tanyanya antusias.

“Tidak usah” jawabku singkat. Ia mengangguk pelan lalu memainkan sulingnyaseiring dengan hembusan angin. Sebenarnya, aku sangat menyukai alunan musicyang ia mainkan. Aku seperti bisa melihat angin yang berhembus kearahku. Saat iamenerbangkan satu persatu helai rambutku, menyentuh pipiku, menyusup di selaselabajuku, melewati jari-jariku. Aku seperti merasakannya. Tubuhku menjadisangat ringan, bahkan saatku memejamkan mata, sangat damai. Tuan gembalamengakhiri permainan sulingnya, dan itu membuatku terbangun dan tersadarbahwa hari sudah mulai senja. Perutku sangat lapar, aku belum makan sehari penuhkarena menjaga domba-domba bodoh ini.“Ayo” ajaknya. Ia menuntun puluhan domba itu menaiki bukit, menuju tempatmereka singgah dikala gelap. Aku mengikuti jejaknya, menuntun dombaku pulangdari tanah lapang itu dan kembali mengikatnya di tiang depan rumahku.

Di tengahperjalanan, tuan gembala menggali umbi liar di bukit dan memberikan setengahnyapadaku. Aku tercengang, kemarin aku mencari kopi hingga senja untuk ditukardengan umbi ini di pasar kecamatan. “Bukankah alam sudah baik?” katanya. Lalumeneruskan perjalanannya sambil bersenandung riang dengan domba-domba yangberlari-tak sabar tuk sampai di rumah.Pagi. Hari dimulai lagi. Aku menggiring dombaku ke lembah dibalik bukit sepertikemarin pagi. “Hay Fulan!” kata tuan gembala dari kejauhan saat aku tengah dudukdi bawah pohon beringin tua ini. Aku sudah sangat terbiasa akan sapaanya setiaphari. “Kau mau mendengar syairku?” Tanyanya lagi. Aku menggeleng,memperhatikan domba domba yang asyik bercengkrama sambil menyantaphidangan pagi ini. 

“Kau tau Fulan, kenapa lembah ini selalu dipenuhi rumput?” Tanya tuan Gembalapadaku. Aku menggeleng, tentu saja aku tidak tau, itu pertanyaanku beberapapekan yang lalu.“Rumput disini selalu tumbuh dikarenakan tanah ini selalu basah” jawabnya singkat“Memang kenapa kalau basah?” tanyaku“Ahh kamu Fulan, perlu membaca buku dirimu ini agar otakmu sedikit terisi” katatuan gembala. Ia mengganti posisi duduknya dengan bersila dan memegangpundakku “Hey Fulan, kau bisa membaca?” aku menggeleng. Melihat buku-pun akutidak pernah. Ia mengangguk singkat, dan memainkan serulingnya lagi. Aku masihterjebak dengan pikiranku sendiri. Tuan gembala tidak pernah menjelaskan sesuatusecara gamblang. Aku selalu dibuatnya untuk berfikir.

Pukul empat pagi, aku bangun dari kasurku. Menggiring dombaku melintasipersawahan kampung menuju lembah dibalik bukit. Tuan gembala memberikubenda kotak dengan lampiran-lampiran yang berbahan seperti uang kertas, namunberwarna putih. Entahlah, ini seperti yang ada di uang kertas, namun lebih banyak.“Ini apa” tanyaku“Buku, kau bacalah” aku membukanya, dan menunjuk salah satu bentuk yangfamiliar denganku.“aku pernah melihat ini di uang kertas lima ribu” kataku“Itu huruf”Semenjak hariitu, Tuan gembala mengajariku membaca dan menulis. Jika kubertanya untuk apa, katanya biar aku semakin mirip Belanda. Aku baru tau Belandabisa melakukan hal seperti ini, selain mempunyai banyak uang tentunya.

Tuan gembala bilang, dulu sebelum Belanda kesini, dia terlebih dahulu belajar membacadan menulis, persis seperti yang aku pelajari saat ini. Aku mengangguk tandamengerti, selama itu bisa mirip Belanda, aku tak keberatan melakukan hal apapun.Pernah tuangembala bertanya kepadaku, kenapa aku sangat ingin mirip Belanda.Kujawab, karena saat Belanda lewat di pasar kecamatan, orang-orang selalumemberinya jalan. Ketika membeli sesuatu selalu didahulukan, enak sekalipokoknya. Rumahnya besar-besar, pakaiannya bagus-bagus, dan selalu punya uang.Dan tuan gembala hanya tertawa dan mengetuk kepalaku, “Apakah kepalamu masihada isinya, Fulan?” tanyanya kepadaku.

Malam hari, tiba-tiba tuan gembala mengetuk pintu rumahku. Ia menitipkandomba dombanya dan juga sulingnya padaku. Ia bilang, ia perlu ke kota. Akubingung, tidak pernah sekalipun ku lihat ia ada minat dengan kecamatan, dansekarang ia mau ke kota. “Perlu apa?” tanyaku. “Ketemu bapak presiden” guraunya.Atau, mungkin bukan gurauan. Walaupun sudut bibirnya menampakkan senyum,matanya serius sekali. Aku hanya mengangguk dan menerima suling itu.Pagi ini dan pagi-pagi berikutnya, aku menggembala seorang diri. Akumenggiring ratusan dombaku dan dombanya melewati lembah dibalik bukit. Ketikamalam, aku menempatkan dombanya dan dombaku dibelakang rumahku.

Di kampung ini mulai banyak pendatang, satu-dua orang berkata dari kota. Ketika ku Tanya tentang tuan gembala, mereka bilang “Kota itu luas nak, wajar saja jika akutidak bertemu paman gembalamu” . Aku memutuskan untuk mengunjungi ruangjerami tuan gembala, ternyata disitu ada radio kecil dan juga coretan-coretan syairmiliknya.Tuan, Enak nian kau berpangku tanganMelihat Rakyatmu yang bosan dengan perangTuan, Kalau bolehBiarlah aku yang mengulurkan tanganMembantumu memerintah pemerintahanAgar tersenyum damai rakyatmu saat dikuburkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar