Selasa, 03 Desember 2019

Ketidaksengajaan yang mempertemukan aku


Ruang Sendiri Beri aku waktu, untuk bisa merindukanmu. Lagi..Beri aku waktu, untuk merasakan pelukanmu. Lagi..Beri aku waktu, untuk menggenggam tanganmu. Lagi..Beri juga aku ruang, untuk bebas dan sendiri..Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin. Hingga aku lupa rasanya sepi..Sejenak bayanganmu disini, lalu pergi kembali..Beberapa tahun yang lalu, dia yang sedang berlarian kecil mengitari taman kompleks di minggu pagi. Pertama kali aku bertemu dengan dia, pertama kali nya awal perkenalan ku dengan dia. Ketidaksengajaan yang mempertemukan aku dengan dia, saat aku memainkan sepeda kayuh ku di sisi taman pagi itu, saat aku terjatuh dari sepeda kayuh ku entah memang karena aku yang ceroboh atau memang aku tidak pandai memainkannya. Dia menolongku, membantuku bangun. Luka menggores mulus kulit lutut ku.

Darah terlihat samar-samar mengalir kecil disana. Dia yang melihat itu, spontan membungkuk dan mengobati luka itu. Dia yang bermata coklat gelap, dia yang tinggi, dia yang berparas tampan, dia yang berkulit coklat manis.Dia. Alana Gardion Dirgara.Dia yang hingga saat ini masih berhasil menduduki ruang dihati ku. Aku. Natasha Anggia Girdan.Aku yang jauh dari kata sempurna. Aku yang sampai sekarang masih menyimpan kuat kunci hatinya yang dia serahkan padakuSenin. Hari senin. Artinya Ata harus masuk sekolah setelah akhir pekan kemarin. Namun jangka waktu dua hari tidak cukup bagi Ata. Buktinya ia hampir telat bangun gara-gara marathon film-film dan drama Korea kesukaannya. “Ata, pelan-pelan dong makannya.” Ata memasukkan dua lapis roti isi coklat kacang buatan mama. “Naw...nti de..wat maaa..” (nanti telat ma) potongan roti itu hampir saja keluar.

“Makanya jangan suka begadang kamu, jadi telatkan, emang Oppa ganteng kamu mau nganter? Ini susu nya diminum”. Asha, selaku mama Ata sudah hampir hafal dengan sebutan Oppa-oppa Korea kesukaan anaknya itu. Belum lagi jika fangirl Ata kumat, bisa pecah rumah ini jadi dua bagian.
“Dah, Ma. Ata mau jalan dulu yaa. Salim dong.” setelah berpamitan dengan sang Mama, Ata berlari keluar rumah agar tidak tertinggal bis sekolah. “Huh, masih 06:25 telat lima menit bisa ketinggalan gue”. Untung saja ia tidak tertinggal bis yang biasa mengantarkan nya ke sekolah. Bis berwarna hijau putih itu datang dan Ata sesegera mungkin naik dan cari tempat duduk yang nyaman untuk diduduki.

Di seberang jalan dimana bis sekolah itu berhenti, seseorang terlihat sedang mendorong motornya di pinggir jalan. Ban nya kempes setelah menancap paku di jalan. Anak laki-laki dengan seragam bertuliskan “SMA Pilar Nusantara” disisi kanan lengan atasnya itu mengusap peluh yang menetes di dahi nya. Mau tidak mau ia harus mendorong motornya ke bengkel terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama agar cepat sampai disekolah.Ata datang tepat saat bel masuk berbunyi. Gadis itu segera menuju kelasnya yang berada di lantai dua gedung Sosial. “Ini sekolah kayanya punya banyak duit deh, bangun eskalator atau lift kek.. biar ga susah-susah naik tangga heu”.

Ngomong sendiri aja neng, dah gila ya?”. Luna berusaha menjajari Ata yang sudah berada di ujung anak tangga terakhir. “Eh si ibu, pagi-pagi dah ngatain orang aja. Pernah ditampol pake pedang Goblin belom?” Ata menimpali. “Sayangnya.. udah haha”. mereka berdua tertawa sepanjang jalan tanpa menghiraukan tatapan bingung dan heran dari teman-teman lain. Mungkin mereka sudah berfikir ‘gila kali nih anak’ dan bel masuk pun berkumandang seantero sekolah.“Aduh mampus, jam tujuh kurang nih”. Bel istirahat berbunyi, Ata dan Luna keluar kelas menuju ke kantin. Dijalan, Ata tidak melihat Alan yang biasa nya duduk di bangku pinggir lapangan bersama teman-temannya. Ata sempat berfikir jika Alan mungkin sudah dikantin atau dikelas. Setibanya dikantin, Ata melihat sekeliling, ia hanya menangkap teman-teman Alan duduk bergerumbul di meja pojok kantin. Ata berjalan ke arah mereka, sedangkan Kelsey mengantri makanan.

“Jun, galiat Alan?” suara Ata membuat ke-empat cowok itu menoleh. “Eh, Ata. Tadi Alan ijin pulang kayanya, gatau deh kenapa.” Jawab Juna yang di ikuti anggukan oleh Dion, Jaka, dan Gilang. “Oh, gitu ya. Yaudah deh, makasih ya.” Ucap Ata. “Eh, Ta. Emangnya Alan ga kabarin lo?” tanya Gilang. Ata menggeleng, ia berusaha untuk positve thingking terhadap Alan. Kemudian Ata kembali ke meja Kelsey dan menghabiskan makanannya.Ata kira-kira kemana ya, Kels?” aku mulai khawatir dengan sikap Alan belakangan ini,  Alan yang sering sekali pulang mendadak. Alan terlihat jarang keluar kelas, Alan yang biasanya selalu ke kelas Ata di jam istirahat atau pulang pun sudah jarang. “Gue gatau, Ta. Kali aja ada urusan mendadak? Trus dia pulang deh. Gamungkin kan Alan mabol gitu aja” benar juga kata Kelsey.

Tapi aku tetap khawatir dengan Alan. Setiap aku tanya Alan, ia selalu menjawab “Aku gapapa kok, Ta. Jangan khawatir, aku baik-baik aja”. Entahlah, aku harus percaya pada Alan. “Gausah khawatirin Alan, gue yakin dia baik-baik aja, Ta” ucap Kelsey sambil merangku pundakku. “Yaya.. balik ke kelas yuk” “Ayo deh”Hari ini, Alan mengajakku jalan-jalan. Dia akan menjemputku jam 3 sore. Alan mengajakku jalan-jalan, makan, dan tentunya kami membeli ice cream favorite aku dan Alan. Sepanjang jalan Alan menggenggam tanganku. Memang setiap kali kami jalan, dia selalu melakukan hal itu. Tapi kali ini aku merasa ada yang berbeda. Mungkin hanya ilusiku saja.

“Ata, abis jalan temenin aku ke rumah sakit ya, aku mau nebus obat” tiba-tiba Alan mengatakan hal itu, “Ke rumah sakit? Siapa yang sakit, Lan?” tanya ku. “Ga ada yang sakit kok, aku disuruh tante aku buat ambil obat aja. Mau ya?” Alan tersenyum, namun senyum nya terlihat bukan senyum tulus. Ada garis cemas didalam nya. “Okayy” Alan menggandeng tanganku kemudian berjalan menuju tempat parkir.Setibanya di rumah sakit, Alan memarkirkan mobilnya lalu keluar dari mobil. “Tunggu bentar ya, aku ambil obat dulu” pamit dia, aku menunggunya di mobil, aku tidak suka bau rumah sakit jadi menunggu di mobil saja. Sampainya di bagian obat salah satu rumah sakit di kota ini,“Permisi  sus , saya mau mengambil obat atas nama Alan Digara” tanya Alan pada suster yang berjaga di apotek. “Oh, mas Alan ya?

Tunggu bentar ya mas” suster itu masuk kedalam dan kembali dengan membawa sebungkus obat dari dokter yang menangani Alan setengah tahun ini. Alan membayar obat tersebut kemudian beranjak pergi, “Semoga cepat sembuh, mas” pesan suster tadi pada Alan. Alan hanya tersenyum pada suster itu. Alan berjalan menuju mobilnya.“Hai, lama ya?” tanya Alan begitu ia duduk di bangku setir. “Engga, kok. Aku kira ga secepet ini malah. Itu obatnya banyak banget, semoga tante kamu cepet sembuh ya” begitu kalimat Ata meluncur begitu saja, hati Alan melengos. Ia merasa kasihan sekaligus bersalah kepada Ata.Gadisnya itu tidak tahu siapa sebenarnya yang akan meminum itu. Amin, semoga aku cepet sembuh ya, Ta. Biar aku bisa terus sama kamu. Ucap Alan dalam hati kecilnya. “Iya, makasih ya, Ta” Alan tersenyum pada Ata.

Pagi ini, aku berangkat sekolah pagi-pagi. Kebetulan pas digerbang, aku bertemu Kelsey. “Woy.. tumben kita barengan dateng nya?” Kelsey merangkul bahu ku. “Jodoh kali? Haha” Kelsey tertawa mendengar jawabanku. Kami berjalan beriringan ke kelas. Kelasku dan Kelsey sama, 11 IPS 2. Aku dan Alan seangkatan, dia 11 IPS 1, kelas nya bersebelahan dengan kelasku. Begitu aku melewati kelas Alan, aku melihat sekilas dia sudah terduduk dibangkunya. Sepertinya dia akan meminum sesuatu, entah apa itu. Aku berpamitan pada Kelsey, aku berlari kecil kekelas Alan.“Pagi, Alan...” sapaku diujung pintu kelasnya. Alan sedikit kaget dan buru-buru ia masukan apa yang baru saja ia minum tadi. “Pagi, Ata.

Kebiasaan, selalu bikin orang kaget deh” Alan memasukkan bungkusan kecil kedalam sakunya, jika aku tak salah lihat. “Hehe.. maaf deh. Lagian kamu abis minum apa sih? Kok kaya obat gitu? “ aku bertanya padanyaAlan terlihat aneh begitu aku bertanya seperti itu, “Itu tadi, cuman vitamin aja, Ta. Mama kasih tadi pagi” aku mengangguk, “Aku kira obat apa” Alan menggeleng sembari tersenyum padaku. “Ayo, aku anter kekelas kamu” Alan bangkit dari bangkunya, “Gausah deh, aku balik sendiri aja. Bye Alan, semangat belajar nya!” aku melambaikan tangan padanya dan kembali ke kelasku.Aku tidak salah lihat. Ya. Tapi Alan bilang itu hanya vitamin, vitamin banyak amat ya? Ah, kali aja bener. Positive thinking aja lah.

Semoga Alan baik-baik saja. Ya. Bel masuk pun berbunyi. Aku segera menyiapkan pelajaran hari ini. Tak lama kemudian,“Selamat Pagi, Anak-Anak!” Itu tandanya Bu Sinta masuk kedalam kelas. Pelajaran kesatu hingga keempat sudah berakhir, entah mengapa aku jadi lapar selepas pelajaran administrasi tadi. Benar-benar menguras tenaga dan energi jika kedapatan kuis dadakan dari Bu Indah. Untung saja aku hafal dengan materi nya, jika tidak? Entahlah. “Kels, kantin ya? Gue laper nih. Yayayaya???” Kelsey yang mengadahkan kepalanya ke meja, mungkin dia sama lelah nya karena kuis tadi, “Hmm, ayo. Gue juga laper, bisa lemes gue kalo dapet kuis dadakan kaya gini” benar saja dugaanku.

Kami berdiri dan berjalan ke kantin. Sepintas aku melihat kelas Alan kosong. Benda disaku rok ku bergetar.Alan Dirgara: Aku tunggu dikantin ya, maaf aku tadi ditarik anak-anak jadi ninggal kamu deh:)Natasha A Girdan: Gapapa, aku juga lagi otw sama Kels:)Alan Dirgara: Ok!Ternyata pesan dari Alan, dia sudah dikantin terlebih dahulu. Aku dan Kelsey tiba dikantin. Terlihat Alan dan teman-teman nya berkumpul di meja paling pojok.”Lo kesana aja dulu gapapa, gue yang pesenin makanan lo” kata Kelsey. “Wah, Kelsey baik deh. Aku terharu” jawabku, “Idih, geli, Ta. Sono sono, hush hush” aku diusir Kelsey. “njir, gue diusir. Yaudah bye. Jangan sampe salah pesen. Awas lo” “Iye bawel” Aku berjalan ke meja Alan.

Disana sudah ada Juna, Dion, Jaka, dan Gilang. Mereka sudah mengenalku sekitar 1 tahun yang lalu, tepat mana aku menjadi pacar Alan. Aku berfikir mereka adalah orang-orang yang jutek dan jaim, tapi aku salah dugaan. Mereka kocak dan sangat baik padaku, setauku pertemanan Alan dengan mereka sudah lama terjalin. Mereka juga kenal dengan Kelsey.“Eh , ada Ata. Sini-sini, Ta” sapa Juna sambil menepuk kursi disampingnya memberi tanda menyuruhku duduk di situ. “ye, si kambing. Ata duduk sebelah gue” sela Alan yang membuat ku tersenyum, “Idih, santai ae mas, bercanda juga” kata Juna, seketika kami tertawa melihat Juna memnyunkan bibirnya. Tak lama kemudian, Kelsey datang membawa nampan. “Misi-misi, rang cantik mau duduk. Geser dong Jun”

“Yassalam, ini nenek gayung biasa ae lah, minta baik-baik kek” ucap Juna sembari menggeser kursinya. “Jun, lo ngatain Kelsey abis ini lo masuk uks, Jun” ucap Dion yang membuat kami tertawa, tapi tidak dengan Kelsey. “Dion lebih baik diem deh, kamu berisik ya” jawab Kelsey. “Uhh, ngomong nya udah pake aku-kamu nih? Ko gue gadenger kabar gusak-gusuk gitu ya?” sindir Jaka yang membuat Kelsey makin naik pitam. “Gitu lo yon, jahat lu. Gue cemburu tau” ucap Juna.
 “Apaan sih, bawel lo pada. Ini Ta, pesenan lo” Kelsey memberikan sepiring batagor dan somay, “Makasih, cuyung” Kelsey mengedipkan mata nya “Gomban ya” Kelsey tertawa padaku, “Jahat, Kels. Eh kalian ga makan apa?” tanyaku pada mereka.

Bentar lagi juga dateng, Ta. Duluan aja gapapa, ntar gue liatin kamu makan” goda Alan. Aku hanya tersenyum. “Aduh, mata gue! Mata gue gaisss... sakit sakit sakit” Kami tertawa melihat Gilang pura-pura sakit mata melihat Alan menggodaku. “Kels, lo gamau suapin gue gitu? Biar ga mereka doang yang bisa romantis,” tanya Juna“Oh, lo mau Jun? Gue suapin pake cangkul apa pake sekop?” jawab Kelsey. “HAHANJIR!!! MAKAN TUH SEKOP, HAHAHAHA” Kelsey dan juga selalu saja bertengkar. Pertengkaran mereka terkadang membuat meja kami lebih ramai dari meja lain. Kami berhenti tertawa dan kembali fokus dengan makanan masing-masing. Ada-ada saja, pikirku. Alan melahap nasi Padang yang sedang ia makan, aku menoleh padanya. Setetes darah mengalir turun dari hidung mancungnya, aku tidak salah melihat. Itu. Darah. Jarang sekali dia mimisan seperti ini.

“Alan, Alan, kamu mimisan?” refleks aku mengerluarkan tissue yang ada didalam kantong ku dan ku arahkan ke hidung nya untuk menyumbat darah yang keluar. Sontak saja, Dion dan yang lain berhenti makan dan menatap Alan. “Gue anter ke uks, Ayo!” Aku panik. Ya aku panik, Alan itu jarang sekali sakit. Gilang dan Juna berdiri membopong Alan. Alan berdiri dan jalan cepat meninggalkan aku dan Kelsey. Suasana kantin heboh seketika, “Paling Alan kecapekan kali, Ta” Kelsey mencoba menenangkanku. Aku menatap Kelsey tak percaya, “Dia baik-baik aja, lo mau susul dia?” Aku menggeleng pelan. darah yang mengalir itu tercetak jelas di mataku, aku punya Hematophobia. Aku masih duduk terkaku di kursi. Kelsey memelukku seakan tahu akan kelemahanku. Hari itu, Aku melihat Alan berdarah.

“Lan, lo istirahat aja dulu. Ntar gue yang minta ijin sama guru dikelas” aku masih di uks, membersihkan darah yang mengalir dari hidungku. Aku terkejut begitu Ata melihatku mimisan, aku tau dia takut darah, tapi kali ini dia malah yang mengusap darahku dengan tisa yang masih aku pegang sampai saat ini. “Gimana keadaan Ata? Tadi dia yang lihat gue mimisan kaya gini” Juna,Dion, Jaka dan Gilang menggeleng. “Terakhir gue liat tadi, muka Ata pucet, Lan” Jawab Jaka. Ata pasti akan bertanya-tanya mengapa aku sampai mengeluarkan darah seperti ini. “Lo tumbenan mimisan kaya gini, Lan. Lo sakit?” pertanyaan Gilang seolah-olah berhasil mencekik leherku untuk tidak berbicara.

“Gue gapapa, mungkin gue agak kecapekan kali” Mereka mengerutkan dahi dan menatapku seakan-akan mereka bertanya ‘masa?’.“Ah gamungkin lo kecapekan, dulu pas kita main basket dari jam subuh sampe maghrib lo ga kenapa-napa deh” Gilang menyenggol lengan Jaka. Aku tersenyum, “Lo kira gue ironman gitu? Gue juga bisa kecapekan kali” jelasku. “Halah, yaudah lah. Lo istirahat aja disini, kita mau balik kelas dulu”  ucap Dion. Aku belum siap memberi tahu mereka tentang ini, bukannya bermaksud menyembunyikan. Hanya saja aku tidak siap. Biar mereka tau dengan sendiri nya.Dion, Jaka, Juna dan Gilang sudah kembali ke kelas. Aku khawatir dengan Ata, gadis itu pasti sedang lemas karena melihat darah sebanyak ini.

Entah aku pun tidak mengerti mengapa ini terjadi. Jarang sekali aku mimisan hingga darah sebanyak ini. Tiba-tiba petugas uks datang, “Permisi. Lan, lo udah baikan?” ternyata Cika masuk membawa teh hangat. Gue baik-baik aja, Cik. Emang kenapa? Lo takut darah juga?” Cika menggeleng pelan. “Bukan gitu, gue kaget aja liat lo mimisan kaya gini. Ya secara, kapten basket mana pernah m asuk uks sih? Liat tuh baju lo aja penuh tetesan darah. Mirip zombie aja lo” Aku tertawa, Cika memang petugas uks yang ramah. Aku meminum teh hangat yang dia bawa dan kembali melihat seragam ku yang penuh tetesan darah. “Nih, lo ganti baju. Tadi Gilang nitip ini ke gue” Cika memberikan bungkusan seragam, pasti dia ambil dari mobil. “Thanks yo, Cik”. “Sama-sama” jawab Cika sambil berjalan keluar kamar.

Aku mengambil obat disaku ku dan menelannya. Kuharap ini tidak terjadi lagi. Lalu aku mencoba menutup mata dan tertidur sesaat. Aku masih menutup mata, bisa kurasakan ada seseorang disamping ku. Saat aku membuka mata, terlihat Ata yang tertidur di samping ranjang dengan menggenggam tangan kananku. Sepertinya dia menungguku tertidur. Aku bangun dan duduk diranjang, melihat gadis yang ada didepan ku ini. Berfikir jika suatu saat nanti aku meninggalkanya, aku sangat mencintai nya. Sangat. Dia mengeram kecil, Ata bangun. “Hey, udah bangun yah. Kamu gapapa kan, Lan?” aku tersenyum padanya “You see, im fine.

Aku gapapa, kamu gapulang? Udah sore lho” aku mengelus puncak kepalanya. Ata menggeleng, “Aku mau nunggu kamu bangun, didepan juga ada Juna sama yang lain kok. Ohya, aku tadi udah telfon tante” Aku mengangkat alisku, “Bunda? Bunda bilang apa? Dih dibilang aku gapapa juga” “Tante bilang, aku diminta jaga kamu dulu. Tante  ada meeting dadakan tadi, jadi kamu dititipkan ke aku deh, hehe” Bunda pasti khawatir. “Kaya bayi aja deh dititipin segala” Ata cemberut “Yee, nitip nya kan ke aku. Mana boleh ke lainnya” “Iya deh iya, kapan sih aku bisa kalah dari kamu, hm” dia tersenyum kecil, “Yaudah, aku anter kamu pulang, yuk. Masa mau sampe malem disini? Juna udah nunggu dimobil” Aku mengangguk, “Ayo, Ta”   Aku menggenggam tangannya, aku beruntung bisa memilikinya. Sungguh.Aku sampai dirumah, Ata pulang diantar Juna dan yang lain. Sehabis mandi, aku duduk di pinggir ranjang kamarku. Bunda mengetuk pintu, “Masuk, Bunda” Bunda masuk dengan nampan yang penuh makanan. “Kamu tadi mimisan ya? Kok bisa? Ata telfon bunda tau”

“Alan gapapa bunda, kecapekan mungkin. Tapi Alan udah minum obat kok bunda” Bunda memelukku. “Alan baik-baik aja, Bun” aku tahu bunda menangis, tapi ia sembunyikan isakan itu. Aku harus kuat, aku bisa melawannya. Aku bisa sembuh, ini masih awal, tidak begitu parah, “Jaga kesehatan kamu, jangan buat Bunda, Papa dan Natasha sedih ya” aku mengangguk patuh. Tidak akan, pikirku. Sebulan ini aku sudah rutin check-up pada dokter pribadiku. Dokter berkata aku baik-baik saja, asalkan rajin untuk kontrol padanya. Tidak ada gejala yang terlalu menonjol pada diriku. Aku akui memang aku sering mengalami kesakitan pada kepala ku secara tiba-tiba. Tapi setelah meminum obat, kepala ku kembali seperti biasanya. Terkadang saat aku latihan basket disekolah pun, aku merasakan sakit itu. Mau tidak mau aku harus minta istirahat pada pelatihku, hubunganku dengan Ata baik-baik saja, sama seperti sebelumnya.

Hari ini aku kembali check-up di rumah sakit, aku ditemani Bunda saja karena papa pergi dinas luar kota. Setelah menjalani proses check-up aku diminta bunda mengambil resep seperti biasa, aku tau itu hanya alibi Bunda agar dia dan dokter bisa leluasa membicarakan aku. Aku menuruti nya dan keluar dari ruangan. Saat aku kembali menebus obatku, aku bertabrakan dengan gadis di lorong rumah sakit, dia terjatuh. Rambut panjang yang ia gerai menutupi sebagian wajahnya.
“Aduh, kalau jalan liat-liat dong” ucapnya. Aku membantunya berdiri, “Sorr... lho Ata? Ngapain disini?” gadis yang tabrak adalaha Natasha, “Alan? Hati-hati ih jalannya, pasti ngelamun ya?” Aku merangkulnya dan mendudukannya di kursi.

Ada yang sakit? Duh, maaf ya, Ta. Aku galiat jalan tadi, soalnya buru-buru” Ata menatap bungkusan yang ku bawa, “Itu apa, Lan?” dia berusaha menyentuh bungkusan itu, namu cepat-cepat aku masukkan ke kantong jaketku,”Em, ini..ini obat titipan. Ya, obat titipan tante. Yang waktu itu aku pernah ajak kamu kan?” Ata menatap ku lagi, “Oh, iya aku inget. Tante kamu dirawat disini juga” Ata berbalik tanya kepadaku. Aku berfikir, jika aku menjawab iya pasti ia akan membujukku untuk menjenguk, jika aku jawab tidak, alasan apa yang akan kuberikan padanya? “Rawat jalan, Ta. Ohya kamu ngapain disini?” tanyaku. “Oh, aku sama mama habis jenguk tetangga aku yang sakit. Kasihan dia, masih muda udah kena kanker” Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, “Emang dia sakit kanker apa. Ta?” “Itu, dia kena kank...” belum selesai Ata menjawab pertanyaanku, ponsel yng ia genggam berdering.

“Bentar ya, Lan. Dari mama” aku mengangguk padanya.
“Iya, ma. Aku tadi ketemu Alan dijalan, iya iya, ntar aku nyusul. Nanti Ata salamin deh, orangnya ada didepan aku kok. Bye ma.. waalaikumsalam.” Aku mengerutkan dahi memberi isyarat kenapa? Pada Ata, “Tadi mama nitip salam buat kamu, Lan. Ohya, aku udah ditunggu mama di depan. Aku tinggal gapapa ya? Atau mau aku temenin dulu? Nanti aku ijin mama?” aku menggeleng pelan,“Gausah, Ta. Ketemu kamu aja aku udah seneng kok. Ohya salam balik sama mama yaa, ayo aku anter kamu kedepan” Ata mengangguk, aku mengantar gadisku kedepan.Saat aku kembali ke ruanganku, aku memikirkan orang yang baru saja dijenguk Ata. Dia masih muda, dia terkena kanker tapi entah jenis apa.

Ata terlihat sedih melihat orang lain seperti itu, bagaimana jika nanti jika dia melihatku seperti orang yang ia jenguk tadi? Aku menghela nafas panjang. Aku tak mau melihat Ata tersedih, apalagi Bunda, Papa dan teman-temanku.Pagi ini aku bangun telat, semalaman aku tidak bisa tidur karena kepalaku mendadak sakit. Obat sudah kuminum, tapi tetap saja sakit. Bunda memaksa ku untuk libur tapi aku menolaknya. Hari ini ada tanding basket antar kelas, aku sampai lupa bahwa hari ini adalah classmeet di sekolah. Mengingat seminggu yang lalu sekolah mengadakan ujian tengah semester. Kelas ku tanding dengan kelas Ata, sebagai kapten basket aku harus ikut tanding, “Alan, lo udah siap? Kita ditunggu anak-anak dilapangan” Jaka menyusulku, “Siap” aku beranjak dari tempat dudukku, semoga aku baik-baik saja.

Sebelum pertandingan dimulai, aku melihat Ata di balkon kelas, dia tersenyum padaku dan berteriak “Semangat, Alan” Aku membalas senyumnya. Pertandingan dimulai, aku masih baik-baik saja hingga kuarter ke-3, kelas ku unggul dengan point 47-31 dari kelas Ata. Keringat membasahi tubuhku. Sampai memasuki kuarter terakhir, saat aku melakukan three point untuk teamku, mendadak pandanganku menjadi buram, aku mencoba konsentrasi pada ring bola basket di atasku. Tetap saja kabur, pandanganku kembali normal. Saat  aku akan menembakkan bola ke ring basket, aku merasakan ada cairan mengalir dihidung, aku mulai lemas, berusaha mempertahankan posisi ku, namun semua menjadi gelap seketika. Aku bisa merasakan bola yang kupegang menggelundung dari tanganku begitu saja. Semuanya. Gelap.

Diatas sini, aku melihatnya tanding dengan kelasku. Tidak ada yang bisa menandingi kemampuan Alan. Dia berkali-kali mencetak point dengan sempurna, dari kuarter pertama hingga ketiga pun dapat ia lewati dengan mudah, memang kelas ku kalah, tapi apa boleh buat jika lawan tanding adalah Alan dan teman-temannya. Aku berteriak heboh setiap Alan memasukkan bola kedalam ring basket, “Heh, gimana si lo. Kelas kita yang tanding bukannya lo dukung mereka malah neriakin Alan” Kelsey menyenggol lenganku, aku tersenyum kecil padanya “Hehe, biarin sih, Alan kan cowo gue. Ntar deh kalau Jigo sama yang lain cetak point, gue teriakin” aku kembali fokus ke lapangan.
Saat ini, Alan akan melakukan three point untuk teamnya.

Aku bisa melihat dari wajahnya bahwa ia terlihat sudah tidak fokus dengan bolanya. Aku melihat dia sudah berkali-kali mengerjapkan matanya. Aku mulai khawatir, kekhawatiranku semakin membabi buta ketika aku melihat ada cairan merah turun dari hidungnya. Aku terkejut, Alan tidak bisa menahan posisinya lagi. Alan pun jatuh pingsan ditempat. Tepat detik dimana Alan jatuh pingsan, aku berlari sekuat nya menuju lapangan, Jigo, Jaka, Dion dan yang lain berputar mengelilingi Alan. Aku menerobos masuk melihat Alan. Aku berdiri terpaku didepan Alan, Hidungnya dipenuhi dengan darah, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Bahkan jersey yang dipakainya pun tertetes darah. Aku melawan rasa takut ku untuk Alan, tak lama kemudian Gilang datang bersama petugas PMR dan tandu yang siap membopong Alan.

Aku terdiam, kali kedua aku melihat Alan mengalami ini. Dan entah darimana, sirine ambulance tiba tepat dihalaman.Aku dan yang lain termasuk Kelsey menyusul Alan ke rumah sakit, Kelsey membawa mobil Alan. Sisanya ada di mobil Jaka, Gilang dan pelatih basket sekolah menemani Alan di mobil ambulance. Aku hanya bisa mengingat kejadian beberapa menit tadi, aku menahan tangis ku didepan mereka. Aku hanya terdiam di sepanjang perjalanan. Bunda Alan sudah aku hubungi beberapaa menit yang lalu sebelum aku berangkat ke rumah sakit. Sama sepertiku, Bunda sangat terkejut dan langsung pulang ke Jakarta dari Bandung.

Kami berempat tiba dirumah sakit, kami berlari menyusul Alan yang sedang ditidurkan di kasur dorong rumah sakit. Bahkan aku sampai lupa, bahwa aku tidak suka.. bukan, aku sangat tidak suka bau rumah sakit. Yang aku khawatirkan sampai detik ini hanya Alan, hanya Alan. Pasalnya aku tidak pernah mengetahui apa sebab nya Alan menjadi seperti ini. Setiap aku bertanya pada Dion, Jaka, Juna ataupun Gilang mereka hanya menjawab “Alan sedang kelelahan, mungkin”. Memang aku belum sempat bertanya kepada Bunda Alan, situasi saat ini sungguh tidak tepat.Alan dibawa masuk kedalam ruang UGD, bagaimana bisa dibilang hanya kelelahan? Tak lama kemudian Bunda datang dan langsung memelukku, dengan lega aku luapkan tangisanku dipundaknya, entah aku seperti benar-benar sedang memeluk Mama.

Bunda mengelus kepalaku, “Jangan sedih, Alan masih pasti bertahan” Aku samar-samar mendengar apa yang bunda katakan tadi, pandanganku sedikit buram karena air mata memenuhi kelopak mataku saat ini. Dokter keluar dari ruangan UGD, Bunda menegang dan berdiri. “Bisa kita bicara diruang saya, Bu?” Bunda mengangguk dan mereka berdua berjalan menuju ruangan dokter.“Bunda tinggal dulu ya, Ta. Nanti bunda kabari, kamu pulang aja gapapa biar bunda dan yang lain jaga Alan” Bunda mencium puncak kepalaku. Aku hanya bisa mengangguk.“Pulang yuk, Ta. Mata lo udah kaya panda tuh, lagian belum makan kan? Ntar lo sakit juga lagi, yuk” Kelsey mengajak ku pulang, aku menggeleng kecil “Gamau, Kels. Gue mau nunggu Bunda nya Alan balik, trus gue tau gimana keadaan Alan”. Aku benar-benar ingin tau apa yang sebenarnya terjadi pada Alan, aku sedikit merasa ada yang Alan sembunyikan dariku.Di sisi lain,

“Alan sudah betahan selama dua tahun, apakah Alan masih melakukan kegiatan yang terlalu berat bagi tubuhnya? Ini kali ketiga Alan mengalami kondisi kritis, Bu” bunda Alan duduk di hadapan meja bertuliskan “Dr.Andre Wiryawan” itu. “Anak anda sudah berjuang selama dua tahun, Ini kali ke empat dia dibawa ke rumah sakit dengan kondisi yang sama, apakah Alan telat meminum obat nya?” bunda mengangkat kepala nya, “Tidak, dok. Alan meminum nya secara rutin. Apa Alan bisa tertolong lagi, dok?” Dokter Andre-yang sudah merawat Alan empat tahun terakhir- menghela nafasnya, “Semoga, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk Alan. Alan sangat kuat, dia anak yang baik, semoga Tuhan memberinya jalan, Bu” Bunda Alan tersenyum kecil, “Semoga”

Sudah dua hari ini, Ata menemani Alan yang masih terbaring di rumah sakit. Sepulang sekolah, bergantian dengan teman Alan menjaga Alan. Kelsey pun ikut menemani Alan, “Kels, lo bingung ga sih?” Kelsey yang sedang makan di kantin rumah sakit berhenti menyendok makanan nya, “Ha? Bingung apaan?” Ata melihat ke arah taman, dimana ada gadis yang seumuran dengan nya sedang menemani laki-laki yang duduk di kursi roda. “Kenapa Alan pingsan nya lama banget, ya? Dia pingsan apa koma si?” Kelsey benar-benar menghentikan makannya, “Iya juga ya, kenapa lo ga tanya sama nyokap nya Alan? Pasti dia tau apa yang terjadi sama Alan, lo kan pacar nya Alan, pasti dikasih tau” Ata kembali mengamati dua orang yang sedang ditaman itu.

Ata dan Kelsey selesai makan dan akan kembali ke kamar Alan, Ata kembali sendirian karena Kelsey pergi ke toilet karena ada sesuatu. Tepat saat Ata tiba beberapa meter jarak kamar Alan, Ata melihat bunda menangis di kursi, Ata berlari dan memeluk bunda, “Bunda.. bunda ada apa?” kamar Alan kosong. Ata semakin dibuat bingung. “Bunda, Alan kemna? Dibawa kemana? Kok kosong?” Ata bertanya pada Bunda, bunda menangis dan menggelengkan kepalanya. Bunda memeluk Ata, “Alan kritis, Alan sedang di operasi, Alan.. Alan..” isakan tangis bunda membuat Ata ikut meneteskan air matanya “Alan kenapa bun, Alan sakit apa? Kenapa bun?” Ata berusaha menenangkan bunda Alan.“Nanti bunda kasih tau yang sebenarnya, Alan ada di ruang Operasi sekarang” Detik itu, Ata berlari ke ruang operasi. Ata melihat Alan dari balik kaca, banyak peralatan medis yang tertempel di tubuh Alan, Ata setengah mati tak tahu apa yang terjadi pada Alan, sederet pertanyaan muncul dikepala Ata,

Alan kenapa, Alan sakit apa, Mengapa Alan sampai dioperasi hingga membutuhkan alat medis sebanyak itu, Ata meneteskan air matanya begitu saja. Ia merasa telah dibohongi kekasih nya sendiri, Alan. Teman-teman Alan tiba setelah Ata beritahu melalui ponsel nya. “Ta, Alan kenapa?” Kelsey memeluk Ata, “Alan baik-baik aja, Ta” Gilang angkat bicara.“Baik-baik aja? Lo selalu bilang dia bakal baik-baik aja? Pingsan mendadak? Pingsan dua hari? Sampe akhirnya di operasi kaya gini? Baik-baik aja??!!” Ata tidak bisa menahan emosinya, ia hanya bisa menahan rasa ingin tahu nya itu dengan tangisan bercampur amarah. “Gue juga gatau kenapa Alan tiba-tiba kaya gini, Ta. Alan ga ada cerita apapun sama kita,lo kira lo aja yang pingin tau kenapa Alan kaya gini? Ga, Ta. Kita juga bingung” Suara Gilang meninggi.

Dion melerai mereka karena Dion yang paling bijak diantara mereka. “Kalo kalian berantem malah buat Alan sedih tau, lebih baik kita tanya sama Nyokap Alan aja” Kelsey memeluk Ata erat memberinya semangat. Gilang, Jaka, Juna dan Dion duduk di kursi untuk menunggu keadaan Alan. Bunda datang dengan beberapa suster yang menangani Alan, Ata berdiri,” Bunda, Alan kenapa? Kita udah cukup bingung dengan semua ini bun, Alan yang tiba-tiba mimisan, Pingsan sampe dua hari dan sekarang masuk ruang operasi?” Ata terus bertanya kepada bunda Alan, “Maafkan bunda, Ta. Bunda belum siap menceritakan semuanya. Tapi bunda gabisa lihat kamu sedih, apalagi Alan. Bunda sudah anggap kamu anak sendiri, Ta. Kamu jagain Alan, kamu buat Alan tertawa lagi, bunda gamau kamu sedih”

Kelsey dan yang lainnya saling pandang tidak mengerti apa maksud bunda Alan. Kecuali Juna. Juna tahu dan paham dengan keadaan ini. Juna melihat Bunda Alan sendu, Ata mengangkat kedua alisnya heran “Apa maksud bun...” “Tiitttttt....” bunyi alat pendeteksi jantung detik itu juga terdengar diruang operasi. Semua menegang, Bunda menangis begitu derasnya air mata, Juna menunduk dan mengepalkan kedua tangannya frustasi, semua terkejut dengan bunyi alat itu. Ata. Ata tak menduga bunyi itu akan muncul setelah 4 jam berlalu, bunyi itu muncul setelah Ata duduk diluar menahan rasa takut, sedih, marah, kecewa dengan semua ini. Ata menangis, menangis dalam diam..

Dokter keluar dari ruang operasinya, “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan memberikan Alan jalan terbaik untuknya. Kami turut berduka, Bu” Bunda sudah tahu apa yang dikatakan dokter begitu bunyi alat terdengar 10 menit yang lalu. Dibelakangnya, Ata berdiri kaku, Kelsey memeluk sahabatnya itu.“Alan..” suara nya lirih, peluru seakan baru saja menembus masuk kedalam dadanya.“Lan, lo gapapa kan?” Alan sedang terbaring lemah di kasur rumah sakit dua tahun yang lalu. Ia baru saja menjalani kemoterapi nya yang ketiga. “See, gue selamat, Jun. Thanks atas do’a lo selama ini” Bunda tersenyum di samping Alan, melihat putra nya yang baru saja melewati masa kritisnya, selamat. “Bunda keluar dulu ya, mau ambil obat kamu. Titip Alan ya Juna. Kalau ada apa-apa pencet tombol itu” Kata bunda sambil menunjuk tombol di sisi atas kanan, “Oke bun”

“Lan, apa lo gamau kasih tau anak-anak tentang ini?” Alan hanya tersenyum kecut, “Kayanya jangan dulu, gue gamau liat mereka sedih apalagi.. Ata. Biar lo aja yang tahu keadaan gue. Gue gamau buat mereka kecewa di akhir, Jun” ucap Alan. “gue juga gabisa maksa lo, Lan. Tapi..” Juna tahu kalau teman-teman nya akan kecewa pada Alan karena menyembunyikan hal sebesar ini, apalagi mereka sudah berteman hampir 3 tahun lamanya, belum lagi hubungan Alan dan Ata sudah menginjak satu setengah tahun. “Biar mereka tahu dengan sendirinya, Jun. Gue udah bahagia punya lo dan mereka. Gue gamau buat mereka sedih dan kasihan sama gue karena gue lemah” Juna hanya bisa tersenyum. Juna berharap Alan akan sembuh sepenuhnya dan tidak akan tertidur lama lagi seperti ini.

Aku berhasil dari operasi ketiga, jujur aku sangat gugup sekaligus bersyukur. Tuhan memberiku kesempatan kali ini, aku masih di izinkan untuk bernafas lagi. Melihat bunda, melihat teman-temanku, melihat Ata, dan melihat dunia. Sempat aku berfikir bagaimana jika aku gagal, bagaimana jika aku tidak diizinkan Tuhan untuk tetap disini. Putus asa, sering kali rasa itu datang bertubi-tubi memenuhi otakku. Menjalani hidup dengan keadaan ku yang seperti ini, menyembunyikan nya dari semua orang. Tapi semua itu seakan sirna ketika melihat bunda bersedih, Bunda yang selama ini menjagaku, merawatku, menemani sampai kemo yang ketiga. Semua terbayar dengan melihat senyum Bunda. Terima Kasih, Tuhan. Aku menutup buku tempat aku bercerita. Aku sangat bersyukur bisa kembali sehat setelah perjalanan panjang dan melelahkan itu. Alan kembali.

Dibawah langit yang sendu, awan menyelimuti langit hari itu, segunduk tanah dengan batu nisan yang tertancap bertuliskan nama seseorang yang baru saja pergi meninggalkan berjuta kenangan dan memori. Seorang gadis masih terduduk dihadapannya. Gadis yang enggan untuk beranjak pergi dari tempat itu. Gadis yang masih mengingat bagaimana ia melewati hari-harinya bersama seseorang yang sudah tertidur damai di tempat itu. Gadis yang masih mengingat bagaimana senyum yang diberikan oleh seseorang itu. Gadis itu masih mengingatnya. Gadis itu masih memandang nisan yang bertuliskan Alana Gardion Dirgara.

Kekasihnya yang telah pergi meninggalkan nya dengan berjuta kisah dan kenangan. “Ata, ayo pulang. Yang lain udah pulang daritadi, Ta. Balik yuk, nanti lo sakit dan Alan gabakal suka kalo tau lo sakit, kan?” Teman gadis itu membujuknya pulang. Teman-teman yang lain juga masih menemani gadis itu. Gadis itu menatap teman nya, dan kembali melihat ke arah batu nisan. Gadis itu mengangakat pandangan nya ke atas langit, hembusan angin terasa lembut menyapu pipinya yang sudah terbasahi air mata. Ata. Ata merasakan seperti angin itu membelai pipinya. Seperti dulu saat Alan mengelus pipinya.

 “Ata, ini ada titipan dari Alan. Bunda minta maaf ya. Terima kasih, Ata” Bunda menyerahkan satu kotak ukuran sedang padaku, aku menerima nya dan berterima kasih pada Bunda. Aku masuk kedalam, Bunda berbincang dengan Mama diruang tengah. Aku naik ke lantai dua untuk beristirahat dikamar, Kelsey menginap untuk menemaniku.Aku membuka kotak itu, didalamnya ada sekumpulan foto Alan, foto kami bertujuh, dan terakhir, foto ku bersama Alan. Aku tersenyum melihatnya, dibawah foto tersebut ada sebuah buku, aku membacanya dari halaman pertama hingga akhir, buku itu berisi tulisan tangan Alan tentang hari-hari yang ia lewati. Bunda sudah memberitahuku kalau Alan menderita kanker darah sejak dua tahun yang lalu. Dan baru kusadari betapa bodohnya aku yang tidak mengetahui hal itu dan membairkan Alan merasakannya sendiri.Diselip kertas terakhir Alan menyimpan sebuah surat, aku membuka nya..

Hai, Natasha.Ini Alan, kalau Ata baca ini berarti Alan minta maaf ya.. Alan udah gabisa jagain Ata lagi disekolah.Alan gabisa nemenin Ata jalan-jalan atau sekedar cari coklat kesukaan Ata.Alan sayang sama Ata. Alan bersyukur bisa punya Bunda, Ata dan temen yang lain.Ata boleh marah sama Alan soal penyakit Alan.Alan minta maaf gabisa cerita sama Ata karna Alan gamau buat Ata sedih.Alan tau kalau ini salah, tapi Alan gabisa liat Ata sedih karna tau Alan lemah.Kalau Alan pergi,Alan udah titip sama Bunda, Kelsey, Dion, Juna, Jaka sama Gilang buat jagain Ata. Alan sayang banget sama Ata. Makasih udah mau jadi pacar terbaik yang Alan punya.

Thank you for everything that you have done to me.I couldn’t imagine how hard i spend my day without you.Thank you for being my precious thing in my lifeForgive me for all the pain i’ve made for you,forgive me for not being perfect boyfriend as you wish.I wish i can always by your side till the end of my day. Make you laugh in every second.I love you, from the first day i know you and till now.Forever will be, forever be ours.Love will remember you.

Jangan sedih mikirin Alan ya, Ata juga harus bisa bahagia tanpa Alan.Alan bakal jagain Ata dari atas sini, kok.Tetesan air mataku terjatuh diatas kertas ini, Alan terlalu cepat meninggalkanku. Di usiaku saat ini aku sudah kehilangan orang yang sangat kusayang. Namun aku bisa apa? Mungkin ini semua sudah takdir Tuhan. Bagaimana pun juga Tuhan memiliki rencana baik untuk manusia. Aku bahagia sempat memiliki Alan dalam hidupku, walaupun hanya sementara tapi aku merasa Alan tetap disini.Menemaniku meski sudah tidak berupa. Terima kasih untuk semuanya, Alan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar