Selasa, 03 Desember 2019

seorang gadis kecil


Zahwa, seorang gadis kecil yang hidup diantara hiruk-pikuk ibu kota. Tangannya yang seharusnya lembut kini kasar karena mengais sampah untuk sesuap nasi. Wajahnya yang terlahir putih kini kelabu disiram pahitnya asap ibukota. Tidak ada yang peduli padanya, mobil mewah hanya akan berlalu saat melihat Zahwa dengan pakaian lusuh. Sebagian mereka melirik iba, namun hanya mampu diam dan tidak berbuat apa-apa. Zahwa bukanlah satu-satunya anak jalanan di ibukota. Tapi ia cukup mewakili betapa kerasnya kehidupan di Ibukota Jakarta. Kota yang ditinggali oleh banyak orang bertahta, kota yang dikunjungi oleh banyak bangsawan dunia.

Senja itu, Zahwa terduduk diantara tumpukan sampah, wajahnya pucat dan keringat dinginnya mengalir deras membasahi bajunya yang longgar. “Ibuu, ibuu, tolong aku,” Zahwa berteriak lirih dan “bam” badannya jatuh diantara tumpukan sampah. Hingga malam beranjak tidak ada yang membantunya, bukan karena pemulung lain tidak peduli. Melainkan karena tubuh kecilnya tersembunyi diantara tumpukan sampah dan membuat mata tidak peka dengan tubuhnya yang berkamuflase dengan sampah.Diperkampungan kumuh yang penuh tumpukan karton dan karung goni, Naffa menunggu kedatangan kakaknya. Perutnya sudah sangat lapar.

Dari siang tadi ia hanya menangkal lapar  dengan air yang didapatkannya dari tempat berwudu di mesjid. Malam sudah sangat larut, tapi kakaknya belum juga pulang. Bukan lagi rasa lapar yang mengusik Naffa melainkan rasa khawatir pada Zahwa, kakaknya. Tak dihiraukannya perintah mendiang ibunya. Kaki kecil itu melangkah menjauhi rumah kardus yang telah lama ditinggalinya bersama Zahwa. “Kakak, kak Zahwa. Kau dimana?” Naffa mencari Zahwa disetiap tumpukan sampah. Ia tahu disanalah biasanya Zahwa bekerja untuk mencari sampah yang masih bisa dijual. “Kakakkk,” diantara remangnya malam Naffa berteriak karena melihat tubuh kakaknya yang tertidur ditumpukkan sampah. Ia berlari dan menggoyang-goyangkan tubuh Zahwa yang sebenarnya pucat jika saja ada cahaya yang cukup.

Zahwa tidak makan selama dua hari karena itulah kondisinya hari ini sangat lemah. Uang yang didapatkan kemaren hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan Naffa.“Kakak, bangunlah. Apa kau juga akan mati seperti Ibu. Bangunlah, aku mohon!” Naffa berteriak kencang dan berharap kakaknya bisa mendengarkan teriakannya. Naffa berhenti menangis saat kakaknya membuka matanya.“Naffa, apa yang kau lakukan disini. Aku sudah bilang agar jangan keluar malam-malam,” Zahwa berucap lirih, bahkan di awal sadarnya Zahwa masih bisa mengkhawatirkan Naffa bukannya khawatir dengan kesehatannya sendiri.

Kakak, ayo kita pulang,” Naffa tersedu-sedu mengajak kakak yang sangat disayanginya itu untuk pulang. Naffa berusaha membantu Zahwa bangun dan memapahnya berjalan keluar dari tumpukan sampah. Di perjalanan pulang Zahwa singgah sebentar ke tempat pengepul. Tidak ada pengepul yang buka pukul 11 malam begini, tapi Zahwa tetap mencoba ketempat biasa ia menjual rongsokan tersebut. Ia berharap Tuan Pengepul mau memberikanya sedikit upah. Jika tidak, maka ia dan Naffa tidak akan makan lagi malam ini. Zahwa sangat beruntung karena Tuan Pengepul sangat berbaik hati memberinya upah untuk sampahnya. Bahkan ia tidak menimbangnya terlebih dahulu dan memberikan bayaran lebih untuk Zahwa dan Naffa.

Dirumah kardus itu, Zahwa dan Naffa makan dengan nasi dan tempe. Memang uang yang diberikan oleh Tuan Pengepul cukup untuk membeli ikan, tapi mereka berdua sepakat untuk menyimpan uang itu. Tidak ada yang menyadari bahwa di pundak gadis belia itu terpikul beban yang sangat berat. Naffa, adiknya sebenarnya hanyalah adik yang sama ibu. Sedangkan ayah mereka berbeda, Ayah Zahwa sendiri telah lama meninggal karena penyakit pernafasan saat usia Zahwa 7 tahun. Setahun setelah kepergian ayahnya, ibu Zahwa kembali menikah dengan ayah Naffa.  Zahwa sangat tidak menyukai lelaki itu, terlebih setelah ibunya meninggal karena dia. Laki-laki itu  sendiri telah lama meninggal karena HIV. Dan lima tahun setelah melahirkan Naffa, ibunya pun meninggal karena hal yang sama.

Saat ini Zahwa hanya memiliki Naffa, entah kapan Tuhan juga akan mengambil nyawa adiknya. Namun  Zahwa tidak menyerah, baginya selama adiknya masih ada ia akan berusaha untuk mengobati adiknya. Walapun hingga saat ini ia belum pernah sekalipun membawa Naffa berobat. Karena itulah Zahwa melarang adiknya bekerja, ia takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika Naffa bekerja. Zahwa tahu seberapa parahnya penyakit ini. Ibunya sempat mengajarkan Zahwa membaca, dan dari koran-koran bekas ia dapat mengerti bagaimana dan apa HIV itu. “Kakak, kenapa kita tidak bekerja bersama agar tabungan kita lebih banyak,” Naffa berkata lirih disebelah kakaknya yang berusaha menutup matanya untuk tidur. Zahwa tidak menanggapi pertanyaan Naffa dan tetap menutup matanya. Hapir tiap malam anak ini minta untuk bekerja dan akan menimbulkan perdebatan jika Zahwa menjawabnya.

 Apa yang kau lakukan disini Naffa?” Zahwa meninggikan suaranya saat melihat adiknya ikut mengais sampah. Darahnya seketika langsung naik begitu melihat wajah Naffa.“Aku hanya ingin bekerja, aku bosan dirumah kakak,” Naffa menanggapi sepele, ia tidak melihat betapa marah dan kecewanya Zahwa melihat adiknya yang tidak mengikuti perintahnya. Seharian Zahwa mendiami adiknya, tidak sekalipun adiknya diajak bicara. Bahkan Naffa sudah mencoba membujuknya tapi hasilnya nihil.  Naffa tidak tahu betapa besar ketakutan Zahwa jika harus kehilangan Naffa, meskipun ia tahu cepat atau lambat Naffa akan pergi. “ Naffa, kau harus makan yang banyak agar kau sanggup untuk bekerja,” pagi ini Zahwa berubah 180 derajat dari tadi malam. Ia mendukung adiknya bekerja dan memberikan senyum terbaik yang dimilikinya.

Tadi malam saat Naffa tertidur, Zahwa berjalan-jalan keluar. Ia masih kesal dengan Naffa tapi disisi lain ia juga kasihan dengan Naffa. Zahwa tahu bahwa penderita HIV tidak akan bertahan lama dan tahun ini Naffa akan berusia 7 tahun. Karena itulah Zahwa akan memutuskan untuk membiarkan Naffa mewujudkan apa yang diinginkannya. Bahkan ia berencana akan mengajak Naffa melihat sirkus dengan uang tabungannya. Dari dulu Naffa selalu berkata kalau ia ingin sekali melihat sirkus bukan hanya melihat brosurnya. Zahwa merelakan uang biaya pengobatan itu habis demi kebahagiaan Naffa.

Uang itu bahkan masih jauh dari cukup untuk mengobati penyakit Naffa. Zahwa tidak mungkin membiarkan Naffa pergi tanpa membawa kebahagiaan, karena itulah ia akhirnya memutuskan hal tersebut.“Naffa, hari ini kakak akan memberikanmu kejutan,” Zahwa berkata riang dan mengambilkan segelas air untuk Naffa.“Kejutan, hari ini bukan ulang tahunku kak,” Naffa berkata ragu antara senang dan penasaran.“Kita lihat saja nanti, sekarang kita harus bekerja dulu,” Zahwa melihat kegirangan yang ada diwajah adiknya. “Kakak, tempat ini sangat indah dan ramai,” Naffa terkagum kagum melihat antusias orang orang yang akan menonton sirkus yang murah ini.

Malam itu Zahwa sepenuhnya membuat Naffa senang bahkan mereka juga membeli harum manis. Namun apa yang terjadi lima hari kedepan bukanlah bagian dari kebahagiaan Zahwa. Dua hari sebelumnya Naffa membuat hati Zahwa senang dengan mengatakan bahwa ia tidak ingin bekerja lagi. Naffa bilang dia sudah bosan. Namun hal itu hanya untuk membohongi Zahwa, Naffa tidak bekeja karena ia merasakan kondisinya sangat lemah. Beberapa kali ia sempat pingsan tapi kembali bangun sebelum kakaknya pulang. Bahkan beberapa tahun belakangan ia juga sering mimisan, tapi ia menyembunyikan itu semua dari Zahwa. Ia tidak ingin membuat kakaknya khawatir.

Sayangnya malam ini, Naffa tidak bisa menyembunyikan itu semua dari Zahwa. Badannya terkulai pucat di lantai dengan bekas darah di hidungnya. Zahwa seketika itu pun berteriak kencang membuat tetangga yang disekitarnya terkejut dan melihat kondisi gadis belia itu. Selama ini tidak banyak yang dapat dibantu oleh tetangga mereka yang kondisinya pun sama dengan Zahwa dan Naffa. Namun pagi ini mereka memberikan bantuan terakhir bagi Naffa. Naffa telah pergi menyusul orang-orang yang pernah hadir dikehidupan Zahwa. Zahwa menangis di gundukan tanah didekat tanah yang dipenuhi sampah.

Zahwa bersyukur Tuhan masih menyayanginya, Tuhan tidak pernah membiarkan Zahwa sendiri. Siang itu sebelum Zahwa dan Naffa pergi ke sirkus , Zahwa sudah lebih dulu kesana untuk membeli tiket. Disana ia melihat berbagai kegiatan, bahakan ia sempat menyelinap masuk untuk melihat latihan sirkus dan saat itu, seorang wanita dibelakangnya berkata ”apakah kau tertarik untuk jadi pemain sirkus”. Entahlah, selama ini Zahwa tidak pernah memimpikan apapun. Tapi entah mengapa Zahwa menganggukan kepala. Dan sekarang Zahwa tahu kenapa saat itu is setuju, jawabannya ada di kuburan Naffa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar